TEMPO.CO - Seperti apa rasanya kalah? Garrincha, salah satu legenda sepak bola Brasil, tak pernah bisa menggambarkan betapa sakitnya tersingkir dari Piala Dunia. Karier sepak bolanya penuh dengan kegemilangan. Ia bahkan bersama Pele mengisi periode emas sepak bola Brasil. Ia mengantarkan Negeri Samba menjadi juara dunia pertama kali pada 1958, lalu berulang empat tahun kemudian. Praktis, yang ia rasakan adalah puja-puji kemenangan.
Saat tragedi Maracana terjadi pada 1950, Garrincha atau "Si Burung Kecil" menyaksikan Brasil yang tenggelam dalam kepedihan. Hanya butuh hasil seri untuk menjadi juara dunia di rumah sendiri, tetapi Brasil justru kalah 1-2 dari Uruguay. Ia menyaksikan sang kiper, Moacir Barbosa, dikutuk. Tak cuma seusai pertandingan, tapi sepanjang hidupnya. Ia dan Pele kemudian datang mengubur mimpi buruk itu pada 1958.
"Raja dribble sepanjang masa," begitu orang Brasil menyebutnya. Meski dengan kaki pengkor, ia bisa dengan cepat menggiring bola dan mengecoh bek lawan. Dengan kaki berbentuk busur sejajar--kaki kiri melengkung ke dalam dan lebih pendek 6 sentimeter dari kaki kanan, sedangkan kaki kanan melengkung ke luar-- ia memanjakan Pele dengan umpan-umpan matangnya dari sayap kanan.
Garrincha mewakili apa yang disebut antropolog Jose Sergio Leite Lopes "karakter orang kebanyakan" Brasil di lapangan bola. Ia tampak ringkih--lihatlah Neymar yang gampang jatuh--tapi begitu ajaib. Ia bermain bola seperti tengah menari samba. Ia bermain lebih untuk bersenang-senang ketimbang hanya menang. Sahabat-sahabatnya menjuluki dia Charlie Chaplin di lapangan bola lantaran ia lebih suka mempermainkan musuh dengan bola yang sulit ditebak.
Lelaki bernama asli Manuel Francisco dos Santo kelahiran Pau Grande, Rio de Janeiro, Brasil, 28 Oktober 1933 itu juga pemain yang doyan berpesta. Setiap selesai bermain, ia lebih memilih bergabung dengan teman-temannya berpesta sampai pagi. Ia tenggelam dalam bir dan rangkulan wanita-wanita penghibur. Ia juga rela terbang ke kampung halamannya hanya agar sahabat-sahabatnya bisa merasakan kegembiraan yang sama dengannya.
Tak ada yang getir dari kisah Garrincha di rumput hijau itu. Ia--sama seperti ucapan kapten tim Brasil saat kalah telak 1-7 dari Jerman, David Luiz--"bermain bola untuk berbagi kebahagiaan". Bedanya, jika ia dipuja--kecuali gaya hidupnya yang menguras seluruh pendapatannya--Luiz dan kawan-kawan justru dicaci. Jika ia dan Pele disanjung sebagai "sang ajaib", Luiz, Hulk, Fred, dan lain-lain disebut media Brasil sebagai "pembawa aib".
"Sepak bola Brasil benar-benar remuk," tulis kolumnis Juca Kfouri di situs web Folha de S. Paulo.
Tak cuma "kejam" terhadap para pemain mereka yang menjadi pecundang dalam kejuaraan sepak bola, rakyat Brasil juga terhitung "tega" melupakan pahlawan-pahlawan masa lalunya. Armando Nogueira, mantan direktur stasiun televisi Globo, mencontohkan bagaimana rakyat Brasil dengan cepat memuja Garrincha, tapi dengan cepat pula melupakannya. Ia menunjukkan bukti kematian Garrincha pada Januari 1983 yang terlambat diketahui publik.
Masyarakat Brasil juga tidak tahu bahwa ia kembali ke kehidupan pada masa kecilnya yang miskin. Lahir dari keluarga miskin dari rumah-rumah petak buruh pabrik pengolah kapas, ia juga meninggal di rumah petak buruh pabrik dengan penuh utang. "Kita telah berdosa," kata Nogueira di tengah-tengah arakan 20 kilometer pemakaman Garrincha.
Rupanya kecemerlangannya di dua Piala Dunia tak cukup awet untuk menjaga nama besarnya. Begitu tenarnya Pele dan begitu cepatnya bermunculan bintang-bintang baru, rakyat Brasil lupa bahwa mereka memiliki legenda yang lain. Garrincha pun harus menjalani akhir hidupnya yang sepi dan terasing. Ya, sama seperti Barbosa yang dihukum dengan dijauhi dan diasingkan, Garrincha pada akhirnya tahu bagaimana sesungguhnya rasa dari sebuah kekalahan.
"Maaf, maaf," kata David Luiz dengan wajah tertunduk di Stadion Mineirao, di Kota Belo Horizonte, Rabu lalu. Ia tahu pada akhirnya hanya ada dua pilihan yang bisa diambil oleh pemain bola di Brasil: menjadi juara atau dicaci. Dua-duanya bisa punya muara yang sama: dilupakan.
YOS RIZAL SURIAJI (Wartawan Tempo)