TEMPO.CO - Sebuah pesan mampir di ponpin alias telepon pintar saya. Seorang teman Brasil yang tinggal di kawasan lain di Rio de Janeiro "curhat" setelah mereka dibantai Jerman dengan skor 7-1.
Seperti 200 juta penduduk Negeri Samba lainnya, dia pun tak bisa berkata apa-apa lagi kecuali merasa kehilangan harga diri. "Kami tidak menyangka akan kalah sebesar itu, Teman. Kami sangat malu kalah seperti itu di negeri sendiri," katanya.
Sebenarnya saya sudah coba menenangkan hatinya. "Tim nasional kami berkali-kali gagal menang dan sering juga kalah dengan skor besar," jawab saya. "Tapi kami terus memberikan dukungan meski kami tahu untuk menang teramat sulit."
Tapi penduduk Brasil tak ingin timnya kalah. Bahkan saat Brasil bertarung melawan Meksiko dalam pertandingan kedua pada babak penyisihan Grup A, dengan hasil seri, langsung membuat mereka sedih. Mereka merasa seperti orang yang kalah.
Kekalahan dari Jerman mengakhiri segalanya. Termasuk tekad menjadi juara yang keenam kali di negeri sendiri. Piala Dunia 2014 ternyata lebih menyakitkan daripada kegagalan mereka meraih gelar juara pertama kali pada 64 tahun lalu. Saat itu mereka gagal menjadi juara untuk pertama kalinya karena kalah oleh Uruguay dalam pertandingan akhir di Stadion Maracana.
Ketika itu, teknologi belum secanggih sekarang. Tak ada yang tahu bagaimana perih hati para pemain dan penduduk saat itu. Tapi sekarang? Piala Dunia bukan lagi tontonan di seberang lautan yang hanya bisa dinikmati secara terbatas seperti yang terjadi pada akhir 1980-an.
Saat ini, apa yang terjadi di stadion seketika juga bisa disaksikan jutaan orang di seluruh planet ini. Semua orang pun bisa seenak jidat berkomentar di jejaring sosial. Itulah yang membuat orang Brasil--yang dikenal sebagai negara penguasa sepak bola dunia--hancur hatinya.
Para pemain pun sama saja. Mereka mengaku sangat terpukul oleh kekalahan yang super-menyakitkan itu. Mereka adalah pemain-pemain kelas dunia yang mendapatkan bayaran tinggi di luar negeri, tapi justru di negerinya sendiri mereka tak bisa memberikan, seperti kata David Luis, kebahagiaan kepada para warganya.
Seumur hidup, seperti dikutip Guardian, kekalahan ini akan menghantui mereka. "Tidak akan mudah bagi kami untuk melupakannya," katanya.
Dinihari nanti, para pemain punya kesempatan untuk memperbaiki coreng-moreng yang kadung mampir di wajah mereka. Mereka akan berhadapan dengan Belanda, yang kalah dalam pertandingan semifinal oleh Argentina, untuk memperebutkan tempat ketiga saja.
Namun tak ada kegairahan dari teman saya ini dalam menyambut perhelatan pesta yang tersisa. "Kami ingin menjadi juara, bukan nomor tiga," kata warga yang lain. Saatnya mereka memang harus move on. Mereka memang masih terhuyung oleh kekalahan yang menyakitkan itu.
IRFAN BUDIMAN (RIO DE JAINERO)