TEMPO Interaktif, Johannesburg: Dua pertiga maniak bola dari 23 negara mengaku Piala Dunia pertama di Benua Afrika terlalu mahal untuk dinikmati para suporter. Hasil ini keluar dari jajak pendapat yang digelar Reuters/Ipsos.
Afrika Selatan, tuan rumah Piala Dunia 2010 membuka turnamen dengan bermain seri 1-1 dengan Meksiko. Hasil itu memupus harapan pendukung tuan rumah yang berharap tim kesayangannya bisa memulai pesta dengan kemenangan.
Namun, banyak warga Afsel yang tidak bisa membeli tiket untuk melihat timnya bermain. Mereka memilih menonton laga melalui layar besar televisi yang disiapkan panitia di taman-taman publik. Dalam hasil jajak pendapat, lebih dari 12 ribu supporter di 23 negara, sekitar 65 persen mengatakan tiket pertandingan terlalu mahal bagi rata-rata supporter. Hasil jajak pendapat lain dari lebih 2,500 suporter Afsel menyatakan 78 persen sepakat dengan hal di atas.
FIFA sempat dikritik setelah menerapkan sistem pembelian online, membuat penduduk miskin Afsel yang tak mempunyai akses internet tak bisa membelinya. Setelah itu otoritas sepak bola dunia mengenalkan pusat penjualan tiket di mana bisa membelinya secara tunai. Namun banyak peminat menemukan tiket laga pembuka sudah habis terjual. “Saya dari AFsel namun tidak bisa membeli tiket untuk menonton,” kecam Eli Motau, salah seorang suporter tuan rumah, Minggu (13/6).
Suporter 23 negara yang mengikuti jajak pendapat, mayoritas datang dari negara-negara kaya, di mana Inggris, Jerman, Prancis, dan Brasil berada teratas. Jajak pendapat mengatakan harga tiket final juga mahal.
Andy Bird, pelancong asal Inggris punya pendapat lain. Menurutnya persepi biaya tinggi ketika melancong ke Afel dilebih-lebihkan terutama oleh media Inggris. “Itu hal lain. Saya berharap orang datang ke sini karena mereka berpikir ini terlalu mahal,” tegas Bird.
Panitia local telah merevisi jumlah suporter yang akan menghadiri pesta sebulan penuh sepak bola. Mereka mengurangi angka taksiran awal dari 450 ribu menjadi sekitar 350 ribu turis, sebagian besar karena krisis ekonomi global.
REUTERS | BAGUS WIJANARKO