Tootha tinggal tak jauh dari Sandton, pusat bisnis di kota itu. Dan ia kerap mengaku harus menghadapi kerumitan saat pergi ke Bandar Udara OR Tambo: soal parkir hingga ketepatan waktu yang tak tentu karena kemacetan. Tapi kini masalah itu teratasi dengan kehadiran kereta cepat itu. "Kereta ini mengingatkan saya pada kereta di Frankfurt. Petugasnya juga ramah-ramah dan sangat membantu."
Soal transportasi umum, Johannesburg masih kalah ketimbang Jakarta. Bus besar dan mini memang tersedia buat warga, tapi trayeknya belum mampu meliputi seluruh kota. Akibatnya, masyarakat pun harus lebih mengandalkan mobil pribadi atau taksi, yang sayangnya ogah memakai argo meter dan sulit mencegatnya di tengah jalan. Soal kemacetan juga sudah mulai menjadi masalah di kota ini, meski tak separah Jakarta.
Tapi perbandingan itu belum menyertakan Gautrain. Warga Jakarta patut iri dengan keseriusan dan keteguhan pemerintah untuk menyediakan alternatif transportasi baru, yang kini sudah banyak dipuji meski baru setengah jadi.
Ya, kereta cepat ini memang belum lagi komplet. Proyek senilai 25,5 miliar rand (Rp 25,5 triliun) itu bukan bagian dari proyek Piala Dunia 2010. Jalur kereta sepanjang 80 kilometer antara OR Tambo dan Pretroria itu mulai dibangun pada 2000 dan dijadwalkan usai 2011. Tapi berkaitan dengan Piala Dunia, sebagian operasionalnya, untuk rute OR Tambo menuju Sandton, dipercepat.
Ada empat kereta (nantinya 125) yang beroperasi setiap 12 menit sekali melayani rute itu. Di Stasiun Sandton juga dioperasikan armada bus (<I>feeder<I>) yang bisa membawa penumpang Gautrain melanjutkan perjalanan ke beberapa titik di Kota Johannesburg.
Saat <I>Tempo<I> mencoba sebelum pembukaan Piala Dunia, kereta itu sepi. Padahal saat mulai dibuka, 8 Juni lalu, sekitar 11 ribu warga dikabarkan berebut untuk merasakan moda angkutan umum yang diharapkan jadi salah satu solusi persoalan transportasi di Negeri Pelangi itu.
Saya datang pagi-pagi ke bandara itu. Saya tak perlu berdesakan di loket. Saat itu penumpang kereta tak sampai 40 orang. Mungkin karena masih pagi dan saya pergi melawan arus normal orang beraktivitas pagi itu.
Loket elektronik kereta itu cukup canggih. Di OR Tambo ada sekitar lima loket. Kita tinggal memencet-mencet pesanan dan tujuan kita. Untuk pembayaran, selain kartu kredit, mesin itu menerima uang rand. Malah, mesin itu bisa melakukan kembalian--umumnya berbentuk recehan logam.
Sayangnya, pengguna yang memanfaatkan kartu kredit sering kali harus melakukan urusan lebih panjang karena mesin loket kerap gagal memproses transaksi mereka. Saya saat itu membeli tiket elektronik dengan uang pas 110 rand (Rp 110 ribu) untuk tujuan Sandton.
Kereta yang saya tumpangi terdiri atas lima gerbong. Masing-masing gerbongnya terdiri atas 46 kursi berjok warna biru, yang masih mulus dan empuk. Di tiap gerbongnya juga ada tiga tempat penyimpanan bagasi yang cukup lega. Pendingin udara juga terasa maksimal di gerbong itu.
"Nyaman. Tak beda degan Narita Express," kata Osumi Yoshiyuki, wartawan Jepang kenalan saya. Ia baru datang untuk meliput Piala Dunia dan secara tak sengaja bertemu saya di loket.
Wartawan lepas yang menulis untuk <I>Tokyo Simbun<I> dan <I>Nikei<I> itu datang ke Afrika Selatan untuk keempat kalinya. Dan ia mengacungkan jempol untuk kehadiran Gautrain pada kunjungannya kali ini. "Lebih menghemat waktu dan lebih murah."
Simon Scott, suporter sepak bola berjas dari Amerika Serikat yang ada di gerbong itu, memuji Gautrain. "Bahkan lebih baik dibanding kereta di negara saya," katanya sambil tersenyum.
Sandton jadi sasaran jalur kereta ini. Maklum, daerah ini dikenal sebagai pusat bisnis di Johannesburg. Menuju dan keluar dari daerah itu selalu diperumit dengan masalah kemacetan.
"Teman saya pernah butuh waktu tiga jam untuk sampai bandara," kata Osamu. Pada saat normal, waktu satu jam tetap dibutuhkan untuk mencapai bandara dari daerah itu. Untuk menggunakan taksi, ongkos yang dibutuhkan pun bisa melebihi 300 rand.
Dengan kereta itu, justru hanya butuh waktu 15 menit untuk mencapai Sandton. Dengan kecepatan 160 kilometer per jam--yang sama sekali tak terasa dari dalam gerbong--dan hanya berhenti di stasiun antara, perjalanan terasa sangat singkat. Terlebih karena perjalanan kereta kerap melalui bawah tanah. Saya bahkan ragu-ragu dan harus memastikan kepada petugas saat muncul pengumuman kami sudah tiba di Stasiun Sandton. Maklum, informasi elektronik tentang posisi kereta di stasiun mana memang belum beroperasi.
Dari stasiun saya melanjutkan perjalanan dengan bus, yang masih merupakan bagian dari armada Gautrain. Saya menggunakan kartu yang saya dapat di loket. Meski alat di bus gagal membaca kartu itu, sang sopir tetap mengizinkan saya naik dan menyalahkan mesinnya yang masih sering ngadat.
Saya hanya sendiri saat bus itu berangkat menuju terminal Roosebank. Bus berkapasitas 40 penumpang berhenti di tiap halte (umumnya tak dilengkapi bangunan peneduh), tapi tak seorang pun naik. Ketika saya sampai di tujuan, kemewahan pun usai. Saya harus kembali ke realitas. Saya harus susah payah mencari taksi menuju Wits University tempat latihan tim Belanda.
Nurdin Saleh (Johannesburg)