TEMPO Interaktif, Jakarta -Seandainya Lionel Messi lahir di negeri ini, mungkinkah ia jadi pemain top dunia?
Anda boleh mengeryitkan dahi. Tapi sulit membayangkan ia akan berkembang jadi pemain besar jika tumbuh di sebuah kampung atau kota mana pun di Indonesia. Kendati sepak bola menjadi olahraga paling digandrungi di negeri ini, bukan berarti perjuangan seorang bocah lebih mudah untuk mewujudkan mimpinya jadi pesepak bola andal.
Untunglah Messi lahir bukan di sini, tapi di Rosario, sebuah kota kecil di Argentina, pada 24 Juni 1987. Keluarganya bukanlah kalangan yang mampu secara ekonomi. Ayahnya hanya seorang buruh pabrik dan ibunya bekerja paruh waktu sebagai tukang kebersihan. Sejak usia lima tahun, kelihaiannya bermain bola sudah menonjol. Sang ayah lalu memasukkannya ke klub kecil di kotanya. Tapi setelah menginjak umur 11 tahun, bocah ajaib ini menghadapi kenyataan buruk: menderita kekurangan hormon pertumbuhan.
Penyakit itu memerlukan perawatan khusus yang mahal, sekitar Rp 8 juta per bulan. Bahkan klub terkenal River Plate, yang tertarik pada bakat Messi, tak sanggup membiayainya. Akhirnya Messi, termasuk keluarganya, diboyong oleh Barcelona, klub raksasa di Spanyol, yang kemudian mengorbitkannya menjadi pemain terbaik dunia.
Bayangkan andaikata Messi lahir di wilayah mana pun di negeri ini. Belum tentu bakatnya terdeteksi. Pada 1990-an, saat orang tua Messi menginginkan anaknya berlatih sepak bola, di Indonesia juga belum banyak berdiri sekolah sepak bola seperti sekarang. Klub liga utama pun tak akan mengetahui bakat bocah ini, karena sampai sekarang pun amat sedikit klub yang punya pemandu bakat untuk pemain usia dini. Klub ternama di luar negeri tak mungkin pula menciumnya lantaran negeri ini tidak dikenal sebagai ladang yang subur bagi lahirnya pesepak bola hebat.
Itulah akar persoalan sepak bola kita. Talenta bermain bola yang sebenarnya melekat pada jutaan bocah-bocah di negeri ini tak pernah diidentifikasi sejak awal untuk kemudian diasah lewat latihan teknik dan fisik, sekaligus diperhatikan kebutuhan nutrisinya. Bagaimana bakat mereka bisa tercium jika di banyak daerah sudah tak ada lagi kompetisi antarsekolah dasar karena minimnya fasilitas lapangan.
Tak terdengar pula ada kompetisi serius di berbagai kelompok umur demi menggembleng bakat-bakat itu. Pemerintah daerah, apalagi pemerintah pusat, tak berupaya mengadakannya. Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, organisasi yang seharusnya bertanggung jawab atas pengembangan olahraga ini, juga melempem.
Pola pembinaan menjadi masalah serius lantaran sepak bola modern semakin memerlukan teknik bermain bagus dan fisik prima. Kemampuan ini hanya bisa disiapkan sejak dini. Apalagi postur tubuh pemain kita, seperti umumnya orang Asia, lebih pendek dibanding pemain Eropa atau Afrika. Tapi postur badan bukanlah kendala dalam bermain sepak bola. Dengan latihan teratur, Messi, yang bertubuh mungil dengan tinggi 169 sentimeter, telah membuktikan diri mampu menjadi pemain top dunia.
Kapten tim Korea Selatan, Park Ji-sung, juga menunjukkan bahwa orang Asia sanggup bermain dalam level tinggi di Liga Primer Inggris. Sebelumnya, namanya sudah meroket pada Piala Dunia 2002. Pemain yang kini berusia 29 tahun ini merintis kariernya di J-League, Jepang. Pemain kita, Ricky Jacobi, sebetulnya juga pernah merumput di sana. Ia dikontrak oleh klub Matsushita pada 1988, dua tahun sebelum Ji-sung datang ke Negeri Sakura. Sayang, Ricky tak bisa bertahan lama lantaran gagal beradaptasi dengan udara dingin.
Generasi sebelum Ricky, pemain seperti Herry Kiswanto dan Bambang Nurdiansyah, tak kalah hebatnya. Mereka pernah menjuarai salah satu grup Zona B dalam prakualifikasi Piala Dunia 1986 di Meksiko. Kendati masih dua langkah lagi untuk tampil dalam Piala Dunia, prestasi ini tak bisa diulang hingga kini.
Ketika sepak bola di negara-negara tetangga semakin maju, kita seolah jalan di tempat, bahkan mundur. Jangan heran jika pelatih tim nasional Alfred Riedl kesulitan mendapat pemain yang layak membela Indonesia. Pelatih asal Austria ini juga terkejut karena kemampuan teknik dasar pesepak bola kita bahkan lebih jelek dibanding pemain Vietnam.
Bangsa ini memang gila sepak bola, tapi masih belum memiliki infrastruktur, sistem pembinaan, dan budaya mengembangkan sepak bola secara profesional. Bahkan, sekalipun seorang Messi lahir di sini, mungkin ia tak akan bisa menjelma jadi pemain hebat dunia.
Gendur Sudarsono, Wartawan Tempo