Isu itu muncul sejak tiga tahun lalu gara-gara aksi Kaka di final Liga Champions Eropa 2007. Kaka membela AC Milan dalam pertandingan melawan Liverpool. Saat Milan menang 2-1, ia menengadahkan tangan ke atas, dan membuka kausnya yang bertulisan "I Belong to Jesus". Kaka memang dikenal sebagai seorang yang saleh. Ia anggota organisasi Atletas de Cristo atau Atlet Kristus.
Mungkin kejadian tersebut akan berlalu begitu saja kalau tidak ada Jim Hansen, Ketua Danish Football Federation, yang mempersoalkan hal itu. Ia menganggap Kaka keterlaluan. Panggung sepak bola, menurut dia, harus sepenuhnya netral dari unsur-unsur agama. Dalam peraturan FIFA memang ada larangan para pemain sepak bola melakukan "statement" pribadi. Katakanlah di Afrika ini kita melihat seorang penyerang Meksiko mengenakan bando bertulisan "Zapatista" atau seorang striker Spanyol mengenakan pita lengan menyokong separatis Basque. Atau seorang bek Mesir mengenakan kaus yang membela Ikhwanul Muslimin. Jelas itu tak diperbolehkan, karena menjadi semacam provokasi politik.
Namun T-shirt yang menampilkan religiositas pribadi, seperti yang dikenakan Kaka, membahayakankah? Bukankah kaus itu tidak menampilkan sablon bertulisan "You Must Belong Jesus". Tak mengherankan jika keputusan FIFA itu dikecam Vatikan. Menurut Vatikan, itu wajar, bukan zending. Bukankah banyak pelatih mendaras rosario saat menyaksikan pertandingan. Kita tahu bahwa saat timnya menghajar Korea Selatan, Maradona sampai membuat tanda salib sebanyak delapan kali.
Namun cobalah Anda amati di lapangan sejauh ini. Kita telah melihat pemain Afrika Selatan menari menggoyang-goyangkan bokong saat meletupkan kegembiraan. Kita melihat pemain kesebelasan lain mengacungkan "Victory". Tapi belum terlihat ada yang khusyuk melakukan tanda salib. Adakah karena mereka takut terkena sanksi kartu kuning?
Memang sebaiknya debat "teologi" ini tak usah dilanjutkan. Toh, tanpa iklan-iklan agama, sepak bola sudah merupakan suatu "agama". Para antropolog, seperti Rene Girard, percaya, sesungguhnya akar agama adalah ritual kuno. Sementara bila kita lihat, stadion Piala Dunia tak ubahnya sebuah kuil. Para suporter adalah jemaah. Para top scorer adalah nabi-nabi. Yel-yel, himne, dan "language game" pertandingan adalah syariatnya. Di lapangan itulah kesalahan yang berakibat fatal, seperti dalam drama-drama tragedi Yaeschilus, terjadi. "All I know most surely about morality and obligations, I owe to football," kata filsuf eksistensialis Albert Camus, yang pada masa mudanya adalah seorang kiper di Aljazair.
Maka, membaca berita bahwa FIFA telah tersisipi gerakan anti-Kristus, kita bisa tertawa. Sama menggelikan juga ketika mendengar para evangelis berduyun-duyun saat Brasil bertanding melawan Korea Utara. Para evangelis Brasil datang ingin menceramahi suporter Korea yang dianggap ateis. Jangan-jangan mereka berpikir para pemain Korea Utara mengenakan kaus oblong bertulisan "Kim Jong Il is great!".
Jadi? Apakah Anda setuju seluruh perayaan kemenangan yang berbau agama sebaiknya tak diperbolehkan? Saya teringat cerita lucu Slamet Gundono. Dalang bertubuh supertambun itu pada masa SMA di Tegal keranjingan sepak bola. Di televisi ia melihat pemain-pemain Eropa sering mengekspresikan tanda salib. "Saya juga ingin begitu," katanya dalam hati.
Maka, dalam suatu pertandingan antarkecamatan, ketika timnya menjebloskan bola ke gawang lawan, Gundono berlari dan kemudian tiba-tiba sujud serta salat dua rakaat. Hasilnya, meski seluruh penonton ketawa, ia disemprit wasit karena dianggap mengganggu pertandingan.
SENO JOKO SUYONO (Wartawan TEMPO)