Carlos Caetano Bledorn Verri alias Dunga muncul di puncak kemarahan publik Brasil. Itu bermula dari Piala Dunia 2006 di Jerman. Ronaldo, Kaka, Adriano, dan Ronaldinho disingkirkan Prancis 0-1. Juara bertahan tumbang. Sumpah serapah melimpah-ruah ke alamat Selecao--julukan tim Brasil. Pelatih Carlos Alberto Pereira langsung dipecat--sekarang melatih Afrika Selatan. Dunga naik pentas.
Pada mulanya pelatih kelahiran Rio Grande, Brasil, berusia 46 tahun, itu repot menghadapi sikap skeptis rakyat. Walaupun ia bermain di tim nasional pada 1982-1998 dan ikut memenangi Piala Dunia, ia dikritik lantaran pengalamannya sebagai pelatih nol besar.
Kecaman semakin bertubi-tubi ketika ia membongkar habis tim nasional. Ronaldinho dan Adriano ia ganti dengan Maicon, Lucio, Dani Alves, Felipe Melo, dan Luis Fabiano, angkatan muda yang bermain di seantero dunia. Dengan sekitar 1.100 pemain di klub beken sejagat, tak sulit bagi Dunga membentuk tim hebat.
Agak berlebihan menyebut Dunga mematikan Jogo Bonito. Ia sesungguhnya membuat tim tak hanya asyik "memasak" bola dan berputar-putar menghabiskan waktu. Dunga memberi fokus pada Selecao: cetak gol. Aksi oper-operan pendek dan tik-tak sentuhan satu-dua kali--yang merupakan ciri Brasil--tetap ia pertahankan. Jadi sesungguhnya ia hanya menambah efisien Jogo Bonito dan karena itu terasa lebih "kurang bumbu". Barangkali "bumbu" itulah penyedap sepak bola Brasil selama ini.
Dengan Jogo Bonito ala Dunga itulah tim Brasil memenangi Copa Amerika pada 2007 dengan mengalahkan musuh bebuyutan, Argentina. Tapi setahun kemudian, Dunga kembali dilanda badai kritik. Tiga kali bermain di kandang, Selecao tak mampu mencetak satu gol pun!
Pelatih yang pernah bermain di sembilan klub berbeda selama 20 tahun karier sepak bolanya itu terus mematangkan resep efisiensinya. Hasilnya, Brasil lolos ke Afrika Selatan dengan meraih peringkat pertama Amerika Selatan (Conmebol)--di atas Cile, Paraguay, Argentina, dan Uruguay. Pelan tapi pasti, kecintaan rakyat Brasil kembali bersemi kepada tim asuhan Dunga itu.
Sepak bola Brasil memang kembali semarak. Pertumbuhan ekonomi Brasil, yang rata-rata 4-5 persen, membuat klub punya duit lagi untuk belanja pemain. Ini bukan lagi periode "merana" klub lokal ketika pemain yang mencetak gol wajib berlari menghampiri papan reklame produk yang mengontraknya--agar produk itu tampil di televisi. Sekarang banyak pemain Brasil di Eropa pulang kandang. Roberto Carlos merupakan salah satunya. Robinho, yang lama berkelana di Eropa, pun kembali main di Santos, dengan status pinjaman, dan menerima bayaran US$ 90 ribu sepekan alias hampir Rp 2 miliar sebulan--meski sebagian masih ditanggung Manchester City (Inggris).
Ekonomi Brasil ditaksir akan semakin menjulang ketika negeri itu menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014 dan Olimpiade 2016, meskipun banyak yang cemas dengan pengeluaran besar dua ajang raksasa itu.
Di Afrika Selatan, akankah Dunga membawa Selecao menjuarai Piala Dunia untuk keenam kalinya? Dengan bola seliar Jabulani, diwarnai banyak kejutan membingungkan, hanya peramal ngawur yang masih berani menebak.*** Toriq Hadad