TEMPO Interaktif, Air mata jatuh di Stadion Free State, Bloemfontein. Di layar kaca, seorang pria mencoba menghibur wanita di sisinya yang dilanda kesedihan. Meski menang atas Prancis, Afrika Selatan tetap kandas di babak pertama. Air mata pun tumpah.
Memasuki babak akhir di penyisihan, apalagi babak kedua kelak, juru kamera televisi mendapat tugas tambahan. Mereka tak lagi semata harus jeli membidik gol-gol cantik, aksi hebat, atau tipu daya para pemain, tapi juga harus awas terhadap momen-momen lain yang juga penting: air mata yang menetes.
Sudah jadi kodrat televisi. Semua yang ada di stadion, di lapangan, atau di bangku penonton harus mereka tampilkan. Itu sebabnya, kamera pun hadir di lorong tempat para pemain masuk stadion. Tak cukup dengan itu, sebuah kamera hilir-mudik mengapung di atas lapangan.
Sepak bola pun dikemas tak semata pertandingan olahraga, tapi sekaligus sebuah pertunjukan drama. Beruntung, olahraga macam sepak bola telah memenuhi syarat struktur drama yang lengkap. Di sana ada masalah, ketegangan yang memuncak, klimaks, dan penyelesaian.
Dalam bahasa Ted Turner, pendiri jaringan televisi CNN, pertandingan olahraga adalah sebuah peperangan tanpa pembunuhan. Menang dan kalah adalah hasil dari perang itu. Televisi harus menuntaskannya menjadi sebuah pertunjukan yang komplet.
Di masa lalu, kepedihan itu hanya tampil di selembar kertas. Sebuah foto buram di dekade awal 1980-an terpampang di sebuah majalah olahraga di negeri ini. Seorang kiper dari Haiti tengah menangis karena gawangnya kebobolan hingga 8 gol. Kamera menangkap ekspresinya yang teramat gulana di depan gawangnya. Di memungut bola dengan air mata yang bercucuran.
Di era yang lebih modern, drama itu kian hidup. Televisi menyajikannya dengan sempurna. Mereka menempatkan kamera di berbagai sudut stadion, jumlahnya mencapai puluhan, tidak hanya untuk memelototi sebelas pemain yang tengah berlaga, tapi juga menyorot ribuan penonton. Sebab, di sana, drama kerap muncul. Penonton yang semula tanpa letih mendendangkan yel-yel kegembiraan seketika terdiam saat wasit meniup peluit panjang.
Pertandingan usai, peperangan pun selesai. Di saat tim pemenang merayakan kemenangan, di sisi lain, sebelas lelaki dengan seragam yang berbeda duduk terkulai. Mereka, yang sebelumnya gagah luar biasa, menjadi rapuh. Kepala tertunduk dan mata yang memerah.
Di Piala Dunia 1990, di layar televisi terlihat Diego Maradona, sang jenius karismatis, tapi juga licik, tak bisa menahan kedukaan saat Argentina kalah oleh Jerman Barat di final. "Saya tidak akan pernah melupakan peristiwa yang membuatku dan seluruh negeri menangis," kata Maradona mengomentari tangisannya itu. Pemandangan berbeda terjadi empat tahun sebelumnya, saat dia membawa timnya menjadi juara.
Drama tak kalah mengenaskan ditampilkan Paul Gascoigne. Gelandang elegan Inggris ini menangis tak henti-henti saat mereka dikandaskan Jerman Barat di semifinal. Padahal, kita tahu, Gazza adalah gelandang yang penuh tenaga dan juga temperamental.
Ternyata keberingasan dan kebengalannya itu luluh dan berganti menjadi duka. Dia pun tak dapat menahan derai air matanya. "Sejak kecil, aku selalu bermimpi untuk bermain di Piala Dunia," katanya. Malam itu, di Napoli, semuanya buyar. "Saya tidak tahu cara untuk menahan tangis di malam itu."
Sepak bola telah memberikan segalanya bagi televisi. Sepak bola menampilkan aksi indah Cristiano Ronaldo, kelihaian dan kejeniusan Lionel Messi, atau kecantikan permainan Kaka.
Kini televisi melengkapinya dengan sempurna. Persis seperti yang disebut Stafford Heginbotham, pemilik klub Bradford di Inggris, sepak bola tak ubahnya opera. Di sana tersaji sebuah dunia yang murung, penuh sedu-sedan, dan hampa.
Irfan Budiman