TEMPO Interaktif, Johannesburg -- Final Piala Dunia kemarin dinihari mempertemukan dua "saudara", yakni Belanda dan Spanyol. Walaupun terpisah lebih dari 1.200 kilometer antara Negeri Tanah Rendah dan Semenanjung Iberia, kedua negara ini memiliki kultur sepak bola yang sama.
"Ada semacam ironi bahwa kekuatan Spanyol sekarang, setidaknya sebagian, diturunkan dari Belanda," ujar Ronald Koeman kepada Telegraph edisi Minggu lalu. Pemain bertahan ini telah 74 kali membela Belanda dan merumput di Barcelona, Spanyol, antara 1989 dan 1995.
Barcelona memiliki hubungan kuat dengan sepak bola Belanda sejak ditangani pelatih legendaris pencipta total football, Rinus Michels, pada 1970-an. Dekade berikutnya, giliran anak kesayangan Michels, Johan Cruyff, yang menangani klub Catalunya itu. Kapten saat Belanda jadi finalis Piala Dunia 1974 itu kemudian digantikan meneer-meneer lain di Barca: Louis van Gaal dan Frank Rijkaard.
"Barcelona mengadaptasi pelatihan pemain muda Ajax Amsterdam dan pola 4-3-3 yang jadi pakem Belanda," kata Koeman, 47 tahun. Produk akademi Barcelona kini jadi tulang punggung tim Matador di Afrika Selatan. Mereka adalah Carles Puyol, Gerard Pique, Xavi, Sergio Busquets, Andres Iniesta, dan Pedro Rodriguez. Jumlahnya bisa jadi tujuh jika ditambah David Villa, yang bergabung dengan La Blaugrana seusai Piala Dunia 2010.
Di Nou Camp, markas Barca, mereka bermain di bawah komando pelatih Pep Guardiola, yang ditunjuk menggantikan Rijkaard. Meski Spanyol tulen, Pep akrab dengan gaya Belanda. Dia bermain bersama Koeman di bawah komando pelatih Cruyff. "Guardiola adalah sahabat saya," kata Koeman, "Saya tahu benar dia terobsesi dengan sekolah sepak bola Ajax."
Ajax Amsterdam adalah klub raksasa Belanda. Terdapat tiga pemain mereka di skuad Oranye saat ini, yaitu kiper Maarten Stekelenburg, bek kanan Gregory van der Wiel, dan gelandang Demi de Zeeuw. Jumlahnya bisa berlipat ganda jika alumni juga disertakan, seperti Ryan Babel, Eljero Elia, Rafael van der Vaart, Nigel de Jong, Klaas Jan Huntelaar, dan Wesley Sneijder.
Kekuatan Oranye, kata Koeman, terletak pada pengatur serangan Wesley Sneijder. Ia pulalah yang memberi kesempatannya bermain di tim senior Ajax, delapan tahun lalu. Saat itu Sneijder, yang baru 18 tahun, bermain penuh percaya diri, layaknya pemain yang sudah tiga tahun merumput di level tertinggi. "Hal seperti itulah yang kami dapat dari anak-anak Akademi Ajax," kata pelatih Ajax 2001-2005 itu, bangga. TELEGRAPH | REZA M | PRASETYO