TEMPO.CO, Jakarta - Di dalam ransel hitam yang selalu dibawanya, senjata itu tersimpan. Ada lebih dari delapan kaleng cat semprot berbagai warna, buku sketsa, dan pensil. Alat-alat tersebut sudah menjadi senjata Tiago Tosh, 32 tahun, seniman jalanan di Rio Janeiro.
Seniman jalanan merupakan istilah di Rio de Janeiro dan kota lainnya di Brasil yang disematkan kepada mereka yang kerap membuat grafiti atau gambar-gambar di tembok di sudut-sudut kota. Berbeda dengan para pengunjuk rasa yang masih tetap beraksi saat Piala Dunia berlangsung, Tiago memilih menumpahkan kegusaran hatinya di dinding-dinding di kawasan Alemao, sebuah favela di Rio de Janeiro.
Satu yang dia perlihatkan adalah grafiti yang menggambarkan empat granat yang jatuh dari langit. Sedangkan di bagian bawahnya ada kepalan tangan para pengunjuk rasa. “Pemerintah di sini selalu menjawab kritik dengan cara mereka sendiri,” katanya di sebuah siang di Alemao. “Menumpas pendapat.”
Sebenarnya, menurut pengakuannya, dia sendiri bukan termasuk penentang penyelenggaraan Piala Dunia di Brasil. “Justru saya senang Piala Dunia dilangsungkan di sini,” ujarnya. “Sejak kecil saya sangat menyukai sepak bola. Bahkan, saya sempat masuk beberapa sekolah sepak bola demi mewujudkan keinginan saya menjadi pemain bola terkenal.”
Menurut dia, perlawanan yang dia lakukan lebih ditujukan kepada pemerintahan Brasil saat ini, yang penuh kebohongan dan sarat korupsi. “Sebenarnya itu yang saya sampaikan.”
Tiago bersama komunitasnya bukan satu-satunya yang melawan melalui coretan di dinding yang bersuara keras terhadap penyelenggaraan Piala Dunia dan pemerintah Brasil. Di sepanjang jalan-jalan di Rio de Janeiro—terlihat berbagai gambar atau grafiti yang dibuat oleh kalangan seniman jalanan. Yang banyak terlihat dari grafiti itu adalah tulisan “Copa Para Quem?”—Piala Dunia Ini untuk Siapa?
Hal tersebut senada dengan isu yang diusung oleh para pengunjuk rasa yang kesal terhadap sikap pemerintah yang lebih mengutamakan pembangunan stadion di berbagai kota penyelenggara Piala Dunia. Padahal, menurut mereka, membangun rumah sakit dan sekolah jauh lebih penting untuk rakyat di negeri tersebut.
Termasuk deretan yang sepaham dengan Tiago adalah Paulo Ito, seniman yang berdomisili di Sao Paulo. Dia sempat membuat heboh di Sao Paulo dengan sebuah karya yang memperlihatkan seorang anak kecil yang menangis kelaparan. Namun yang tersaji di piring anak kecil itu malah sebuah bola. Itu merupakan sebuah kritik yang teramat pedas terhadap pemerintah yang dinilainya abai dalam soal pemenuhan kebutuhan untuk rakyat miskin.
Namun kelompok Tiago dan Paulo Ito tidaklah sendirian. Dalam kelompok seniman jalanan lainnya, ada yang memiliki sikap yang berbeda. Mereka tidak membuang jauh-jauh soal politik. Justru mereka memberikan dukungan kepada tim nasional Brasil alias Selecao.
Kelompok tersebut seolah menjadi representasi aspirasi kebanyakan warga Brasil yang tidak suka dengan gerakan para pengunjuk rasa. Bagi mereka, Piala Dunia jangan dicampuradukkan dengan politik.
Alhasil, di sudut lain Rio de Janeiro, yakni di Santa Teresa, Jambeiro, salah satu seniman jalanan, membuat sebuah gambar formasi lengkap tim Brasil dengan Hulk sebagai maskotnya. Jambeiro mengedepankan sebuah semangat bertanding dari Selecao sebagai salah satu kebanggaan negeri itu.
Gambar serupa juga banyak terlihat di beberapa tempat di Rio. Salah satu yang menarik adalah gambar Neymar sedang meniup hantu Maracanazo atau Trauma yang terjadi saat Piala Dunia 1950. Ketika itu, Brasil kalah melawan Uruguay, sehingga mereka gagal menjadi juara dunia untuk pertama kalinya.
Berbeda lagi dengan yang terlihat di sebuah hotel di Leblon, yang merupakan serangkaian pantai yang berdekatan dengan Copacabana dan Ipanema. Seorang seniman jalanan lain, Toz, membuat sebuah gambar besar dalam lembaran kain berukuran besar. Isinya justru mendukung pemerintah dalam penyelenggaraan Piala Dunia.
Gambar ini sudah berada di sana sebelum turnamen berlangsung dan baru akan diturunkan segera setelah pertandingan final di Maracana menghasilkan juara.
Tiago memahami sepenuhnya perbedaan yang ada di kepala teman-temannya sesama seniman jalanan. Menurut dia, hal itu bergantung pada sikap dari para seniman jalanan tersebut. “Kalau saya jelas, saya hanya ingin menentang sistem yang terjadi di negeri,” ujarnya.
Karena itu, dia pun kerap mendapatkan balasannya. Berkali-kali dia berurusan dengan polisi.
IRFAN BUDIMAN (RIO DE JANEIRO)
Baca juga:
Ghana Dicurigai Terlibat Skandal Pengaturan Skor
Tuah Rambut Kriwil David Luiz
Villa Tutup Karier di Timnas Spanyol dengan Gol
Ronaldo Akui Portugal Tim yang Biasa-biasa Saja
Belanda Bertengger di Posisi Puncak Grup B