TEMPO.CO - Tidak ada pengadilan di sepak bola. Tidak ada tempat untuk mengadu, menggelar perkara, ataupun mengajukan banding. Yang ada hanya sesak, perih, pasrah, dan tentu saja pengakuan untuk setiap vonis yang colorful: aneh, unik, di luar dugaan, dan terkadang mencengangkan.
Dan Swiss mengalami itu, dengan vonis jenius dari Messi saat skuad Otmar Hitzfeld berharap keberuntungan via drama adu penalti. Lewat penetrasi cerdasnya, di tengah kepungan tiga pemain Swiss, assist sempurna Messi diselesaikan Angel di Maria ke gawang Diego Benaglio. Semua skuad Swiss tercenung, justru ketika extra-time bersisa dua menit saja.
Aksi magis Messi itu melengkapi kiprah dia yang mengkilap: 4 pertandingan, 4 kemenangan, 4 gol brilian, dan 4 anugerah Man of the Match! Anda mau bilang apa? Angkat topi? Salut? Ah, dia memang jenius. Dia pembeda. Dia pematah kebuntuan. Dia ibarat palu vonis hakim dengan gol dan assist yang meremas-remas hati orang-orang di Swiss sana.
Gol-gol Messi memang brilian. Gol-gol yang lahir dari kreativitas dan kejeniusan justru ketika Argentina mampet. Kenanglah gol tunggalnya yang menggilas Bosnia 2-1 dalam laga pembuka. Kenang juga gol incredible-nya, pada menit 90+1, yang bikin Iran remuk redam. Atau dua golnya yang keren untuk membungkam Nigeria 3-2.
Drama extra-time di fase knockout dalam medium perdelapan final yang menokohkan Messi sebagai tokoh sentral itu juga tak luput dari puja-puji Hitzfeld. "Dia, Messi, dalam satu detik bisa mengubah permainan," ujar pelatih Swiss yang kemudian memilih mundur seusai laga yang sangat emosional melawan Argentina itu.
Messi, yang berdarah Italia-kakek buyutnya dari Ancona-lahir di Rosario, Santa Fe, sebuah provinsi di Argentina dan mengawali karier di Newell Old Boys. Messi kemudian "diselamatkan" Barcelona, dan ketika matang dia mendedikasikan kehebatannya dengan sederet prestasi yang glamor, termasuk empat gelar beruntun sebagai pemain terbaik di dunia. Hanya, untuk tim Tango, keglamoran Messi belum optimal.
Brasil 2014 adalah Piala Dunia ketiga buat Messi. Dalam aksi pertama di Jerman pada 2006, Messi masih memakai nomor punggung 19 (nomor 10 masih milik Juan Roman Riquelme) dan lebih banyak berada di bangku cadangan Jose Pekerman. Di Afrika Selatan pada 2010, di bawah pimpinan Diego Maradona, dengan nomor 10 yang sakral, Messi membawa Argentina lolos dari fase grup, menghentikan Meksiko sebelum dijegal Jerman 4-0 di perempat final.
Kini adalah kampanye yang paling pas buat Messi menuju puncak performa. Empat laga dengan empat vonis mematikan, mengantarkan Argentina melangkah lebih jauh menjadi garansi untuk laga berikutnya. Maklum, di depan mereka adalah Belgia, Setan Merah yang dominan dan agresif, yang mengalahkan Amerika Serikat 2-1 dalam drama 120 menit-salah satu partai perdelapan final yang dramatis!
Banyak pengamat bilang, palu vonis Messi segera menari-nari di langit Estadio Nacional, Brasilia, Sabtu malam ini, saat Argentina bermain dalam babak perempat final kontra Belgia yang bertabur bintang dan disebut-sebut sebagai generasi emas kedua setelah era Enzo Scifo.
Adakah dia bikin assist atau gol lagi? Ini pertanyaan klasik. Sama klasiknya kalau kita mengenang duel kedua tim 28 tahun lalu di Meksiko pada 1986. Ketika itu, di Azteca, Mexico City, dua gol Maradona dalam interval lima menit memvonis Belgia terhenti di semifinal. Argentina menang 2-0, ke final jumpa Jerman, dan lalu juara!
Kini pun, bayang-bayang Maradona seperti dititiskan kepada Messi untuk sebuah vonis mematikan. Dan Messi akan memainkan palu godamnya itu di langit Brasilia nanti malam. "Sebab, dia sulit dihentikan," kata Stephen Keshi, pelatih Nigeria yang menyebutkan Messi sebagai makhluk yang datang dari Planet Jupiter.
HARDIMEN KOTO (Pemerhati Sepak Bola)