TEMPO.CO, Jakarta - Wasit dari Tunisia, Ali Bin Nasser, di Stadion Azteca, Mexico City, Meksiko, pada 1986, mungkin tidak seberuntung wasit asal El Salvador, Joel Aguilar, yang memimpin pertandingan Piala Dunia 2018 di Nizhny Novgorod, Rusia, Senin 18 Juni.
Baca: Piala Dunia 2018: Lukaku yang Masih Dipandang Sebelah Mata
Tiga puluh dua tahun lalu pada perempat final Piala Dunia 1986 di Mesiko, antara Ingris dan Argentina, Nasser belum didukung perangkat Video Assistant Referee (VAR) yang bisa merekam kejadian-kejadian di lapangan dan dipakai untuk membantunya memimpin pertandingan.
Baca: Piala Dunia 2018: Hasil, Jadwal, Klasemen, Top Skor
Nasser dan dua asisten wasit pada laga Piala Dunia 1986 itu di kedua sisi panjang lapangan tidak bisa melihat dengan jeli bagaimana Diego Maradona melompat sambil memakai tangan kirinya untuk memukul bola.
Maradona melakukan tindakan yang kelak tersohor dengan sebutan ‘Gol Tangan Tuhan’ itu untuk mengecoh lompatan kiper Inggris, Peter Shilton, dalam usahanya menghadang bola lambung ke arah gawangnya. Tapi, Maradona lebih cepat melakukan tipuannya untuk membobol gawang Inggris.
Setelah gol yang membawa Argentina memimpin 1-0 itu –sebelum Maradona melakukan aksi yang mencengangkan untuk melewati lima pemain-, Terry Butcher, Gary Lineker, Glen Hoddle, dan kawan-kawan melakukan protes keras karena melihat Maradona mencetak gol dengan tangannya.
Nasser tidak mempedulikan protes Lineker dan kawan-kawan. Inggris tersingkir dan Maradona cs melaju ke semifinal, final, dan kemudian menjadi juara dengan mengalahkan Jerman.
Baca: AI Prediksi Pemenang Piala Dunia 2018, Brasil Jadi Juara?
Mulai Piala Dunia di Rusia pada 2018, perangkat VAR dipakai secara resmi dengan persetujuan badan sepak bola dunia, FIFA.
Hasilnya antara lain pada satu tendangan penalti yang dieksekusi kapten Swedia, Andreas Granqvist, yang menjadi penentu kemenangan 1-0 atas Korea Selatan di Nizhny Novgorod, Senin lalu.
Keputusan penalti diputuskan wasit Joel Aguilar setelah melihat hasil rekaman Video Assistant Referee (VAR).
Dalam rekaman tersebut terlihat Kim Min-woo mengganjal John Guidetti di kotak terlarang pada menit 63. Aguiler kemudian memberi hadiah tendangan penalti kepada Swedia sehingga Andreas Granqvist bisa mencetak gol tunggal kemenangan.
Pada 32 tahun lalu di Meksiko, tak terbayangkan ada pertandingan yang dihentikan sebentar oleh wasit untuk melihat hasil rekaman kejadian di lapangan di layar lebar saat itu juga.
Jika itu terjadi, akan muncul foto Maradona yang melompat sambil tangan kirinya memukul bola dengan sangat cepat dan bola melaju ke gawang Inggris melewati jangkauan tangan kiper Peter Shilton. Foto itu masih terasa legendaris sampai sekarang.
Jika VAR sudah ada dan diberlakukan secara resmi pada Piala Dunia 1986 di Meksiko, niscaya kemungkinan Gol Tangan Tuhan karya Maradona itu tidak akan pernah terjadi. Dan, mungkin Inggris yang lolos ke final dan bukan Argentina.
Apakah VAR membantu tontonan pertandingan sepak bola profesional, dengan puncak piramidanya adalah Piala Dunia, semakin canggih dan kian tinggi daya komersialnya?
Dengan VAR, pertandingan sepak bola pro memang akan semakin canggih sebagaimana tenis profesional yang sudah jauh lebih dulu memakai piranti rekaman dengan misi seperti itu.
Di ajang tenis papan atas dunia, setidaknya dalam satu dekade terakhir, kita akan terbiasa melihat si jelita Maria Sharapova, Simona Halep, atau raja lapangan tanah liat Rafael Nadal meminta “call” untuk melihat kembali pukulan mereka atau pukulan lawan yang dinyatakan masuk atau keluar garis permainan. Hasilnya bisa mengubah perhitungan poin.
Tapi, dalam setiap set di tenis, ada jumlah maksimal yang ditentukan buat petenis untuk meminta melihat rekaman itu.
Selebihnya, setiap petenis harus berlapang dada atau hanya bisa menggerutu jika merasa keputusan wasit utama atau hakim garis tidak adil. Itulah adalah bagian dari drama pertandingan atau bagian manusiawi dari setiap kompetisi olahraga.
Buat mereka yang tak setuju dengan diberlakukannya VAR dalam sepak bola, pandangan mereka adalah sepak bola akan kehilangan romantika, sisi manusiawi, dan daya tarik lainnya dari drama-drama sepak bola yang akan dikenang sepanjang masa seperti pada Gol Tangan Tuhan karya Maradona pada 1986 itu.
Sejumlah pihak di Liga Primer Inggris musim lalu, 2017-2018, termasuk didukung sejumlah media, juga mengungkapkan keraguannya akan pemakaian VAR.
Buat yang menentang VAR, pertandingan sepak bola adalah sebuah pentas teater yang dalam arti yang luas. Buat mereka, apa jadinya jika pertunjukan, pergelaran, show, sebentar-sebentar dihentikan untuk keperluan VAR itu? Daya tarik tontonan akan menurun dan akan kehilangan sisi kemanusiaannya.
Tapi, FIFA sudah memutuskan VAR mulai digunakan mulai Piala Dunia 2018. Asosiasi Persatuan Sepak Bola Eropa (UEFA) kemungkinan besar akan memakainya secara penuh pada Euro 2020.
Sebelum VAR, untuk menambahkan keakuratan wasit dalam memutuskan terjadinya gol atau tidak, pernah digunakan wasit pendamping atau tambahan asisten wasit di masing-masing sisi sejajar dengan gawang.
VAR adalah bagian dari misi pengurus dan pengelola sepak bola di dunia untuk membuat pertandingan berjalan seadil dan sebersih mungkin.
Tapi, VAR tak sepenuhnya sempurna untuk memastikan pertandingan sepak bola berjalan bersih, murni, dan bersih dari sisi-sisi manusiawi yang menarik.
Baca: Rusia vs Mesir: Lebih Menarik kalau Ada Salah
Ketika Inggris meraih kemenangan pertama di Piala Dunia 2018 ini, yaitu 2-1 melawan Tunisia, misalnya, menurut sejumlah media di Inggris, setidaknya dua kali penyerang Harry Kane harus mendapat hadiah penalti karena dijatuhkan di kotak penalti lawan. Tapi, wasit Wilmar Rodan tidak memberikannya karena rekaman VAR juga gagal “menangkap” kejadian itu dengan jelas.