TEMPO.CO, Jakarta - Wasyim Chiadiali tak henti merutuki atau mengomeli kekalahan Maroko 0-1 dari Iran di laga perdana penyisihan grup B Piala Dunia 2018, Jumat pekan lalu. Saya bertemu dengan pemuda kurus asal Marrakesh itu di depan pintu penginapan yang saya tinggali, sekitar 700 meter dari Stadion Luzhniki.
Wasyim mengajak ayahnya, Abdoullah, datang ke Rusia untuk menikmati tur tim nasional Maroko. Harapannya melihat Maroko memetik poin pertama di Saint Petersburg pupus setelah striker Aziz Bouhaddouz mencetak gol bunuh diri. “Padahal itulah satu-satunya pertandingan yang paling mungkin bagi kami untuk mendapatkan kemenangan atau setidaknya satu poin,” kata Wasyim.
Maroko memang berada di grup B yang berat: ada Spanyol dan Portugal di sana. Wasyim cuma tertawa kecut ketika ditanya soal peluang Maroko lolos dari grup B. “Menang melawan tim Eropa itu? Anda lihat sendiri bagaimana mereka bermain. Kami butuh keajaiban.” Maroko akhirnya memang tersingkir setelah dikalahkan Portugal di laga kedua.
Bukan cuma itu berita pahit yang membuat Wasyim pusing. Maroko kehilangan kesempatan menjadi penyelenggara Piala Dunia 2026. Sejumlah negara Afrika dan jazirah Arab yang sempat dinilai sebagai sekutu Maroko ternyata berbalik mendukung Amerika. Inilah kelima kalinya Maroko kehilangan peluang menjadi tuan rumah Piala Dunia setelah gagal untuk turnamen edisi 1994, 1998, 2006, dan 2010.
Kali ini Maroko dikalahkan trio Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko. Ketiga negara itu mengajukan diri menjadi tuan rumah bersama dalam voting di kongres Federasi Sepak Bola Dunia pada 18 Juni lalu. Tak kapok, pemerintah Maroko langsung bersiap memasukkan proposal untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2030.
Wasyim kini cuma ingin menikmati waktunya berdua dengan sang ayah berjalan-jalan di Moskow. Baginya, keberuntungan masih meleset dari Maroko. Meski demikian, kekecewaannya tak memupus rasa cintanya kepada tim nasional Maroko. “Toh, peluang di Piala Dunia berikutnya tetap terbuka,” kata dia.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (MOSKOW)