TEMPO Interaktif, Johannesburg - Selama ini Brasil merupakan salah satu negara sepak bola yang paling ramah dengan para reporter. Dalam pertandingan-pertandingan sepak bola di Brasil, saat suatu tim mencetak gol, para reporter bisa ikut merayakan gol itu dan mereka juga diperbolehkan melakukan wawancara di area bangku cadangan.
Belasan reporter televisi dan radio biasanya sudah berdiri di garis pinggir lapangan menjelang suatu pertandingan di Brasil selesai. Begitu laga usai, mereka bisa langsung menyerbu pelatih atau pemain untuk mendapat kutipan secepat mungkin. Hal seperti ini bahkan bisa terjadi begitu laga babak pertama usai.
Bahkan ketika seorang pemain mencetak gol, ia bisa langsung merayakannya di depan kamera atau microphone untuk mengungkapkan perasaannya secara langsung kepada ribuan pemirsa televisi atau pendengar radio di saentero.
Pada tahun lalu, setelah mengembara di Eropa selama 15 tahun, Ronaldo sempat kaget melihat hal seperti itu. Ia heran menemukan begitu banyak reporter bisa berada di lapangan. “Aku tidak bisa menjawab pertanyaan kalau sedang pemanasan,” katanya.
Bagi ratusan wartawan Brasil yang dikirim ke Piala Dunia, aturan-aturan yang lebih ketat dan tidak diperbolehkannya reporter berada di pinggir lapangan, membuat mereka frustasi. Secara tradisional, mereka terbiasa punya akses istimewa terhadap para pemain, yang mungkin hanya bisa diimpikan wartawan-wartawan di negara lain.
Di Piala Dunia, karena para reporter Brasil selalu berusaha mencari komentar para pemain, setiap hari tim Brasil terpaksa membuat area 'mixed zone' di luar stadion. Di situ ratusan wartawan berebutan untuk melakukan wawancara sambil berjalan ketika anggota tim Brasil memasuki bus.
Bagi pelatih Brasil, Carlos Dunga, area 'mixed zone' tak resmi itu dianggap terlalu mengerikan. Apalagi wartawan di luar Brasil bisa ikut nimbrung mencari kutipan. Oleh karena itu Dunga mulai memagari para pemainnya dari kejaran wartawan dan mengganti area 'mixed zone' liar itu dengan konferensi pers setiap hari. Dua pemain diikutkan dalam konferensi pers yang dihadiri setidaknya 400 wartawan itu.
Kebijakan baru ini ternyata tetap mempersulit para reporter Brasil, khususnya reporter radio. Para para reporter radio punya berjam-jam program udara yang harus diisi. Bagi penduduk Brasil, siaran radio sangat penting karena masih banyak warga Brasil yang tidak punya akses internet.
“Kami harus berbicara pada tujuh program setiap hari dan mengisi berita buletin di setiap jamnya,” kata Wellington Campos, seorang reporter radio dari Radio Itatiaia. “Dulu, semuanya selalu terbuka, tidak hanya untuk reporter Brasil, tetapi juga untuk reporter luar negeri. Kamu bisa memilih pemain yang ingin kamu wawancara. Sekarang semua itu sudah berakhir.”
Kebijakan baru yang ditempuh Dunga ini memunculkan ketegangan antara pihak media dan tim Brasil. Khususnya karena Dunga juga memasukkan jaringan televisi berpengaruh di Brasil, Globo, dalam kebijakan ini. Empat tahun lalu, beberapa pemain bahkan harus memberi wawancara eksklusif di ruangan khusus dengan Globo. DI bawah Dunga, hal itu tidak mungkin dilakukan lagi.
Ketegangan antara wartawan Brasil dan tim nasional Brasil mendidih pada Minggu lalu saat Brasil menundukkan Pantai Gading. Dunga dan para jurnalis dari Globo sempat bertengkar karena Dunga melarang para reporter melakukan wawancara di luar konferensi pers.
Globo mengkritik keras kebijakan Dunga dan kini mereka menolak menyebut namanya dan menggantinya dengan “pelatih tim nasional Brasil' dalam siaran mereka.
Ketegangan media dan tim Brasil bertambah lagi hari-hari ini setelah kolumnis olahraga terkenal asal Brasil, Juca Kfouri, dikabarkan mengkritik kepercayaan agama playmaker Brasil, Richardo Kaka. Ketika ditanya Andre Kfouri, anak laki-laki Juca Kfouri yang juga seorang jurnalis, Kaka mengatakan,” Ayahmu menjadikan aku sebagai sasaran tembak karena keyakinan (agamaku). Aku minta dia untuk menghormati aku dan jutaan orang yang percaya pada Jesus Christus.”
Adanya perselisihan antara wartawan dan tim nasional Brasil ini membuat mantan pelatih Brasil, Luiz Felipe Scolari, menyarankan: “Di Piala Dunia, kita harus menjaga satu sama lain. Jadi hal yang terbaik adalah bekerja sama, dan ketika Piala Dunia selesai, masing-masing pihak bisa saling berkata 'enyahlah kamu ke neraka'.”
REUTERS | ARIS M