Oleh: Toriq Hadad, Wartawan Tempo
Priiiittttttt... Piala Dunia Brasil dimulai. Inilah kesempatan terbaik untuk jeda sebentar dari ingar-bingar politik pemilihan presiden kita. Jauh di Amerika Selatan sana, Brasil sebenarnya juga sibuk dengan pemilu. Tapi negeri yang melahirkan Pele, Zico, dan Neymar itu kelihatan lebih sibuk bergulat mempertahankan julukan sebagai kiblat sepak bola dunia.
Dari kiblat itu, sepuluh ribu pemain “diekspor” ke banyak liga profesional di dunia. Brasil tampak berjuang menorehkan sejarah baru: merebut gelar juara keenam kalinya. Mereka pasti ingin menghapus sejarah kelam yang merupakan trauma dalam sepak bola Brasil: sewaktu menjadi tuan rumah pada 1950 di kandang sendiri, di final Brasil ditekuk Uruguay dengan skor 1-2.
Ketika itu, Brasil merupakan negeri dengan ekonomi sulit. Kerusuhan politik merajalela selama tujuh tahun, yang berujung kudeta. Ekonominya, yang bertumpu pada kopi, anjlok akibat krisis ekonomi Depresi Besar.
Maka Piala Dunia 2014 bukan main pentingnya. Ekonomi Brasil sekarang sangat jauh membaik. Sudah lebih dari 80 persen dari sekitar 195 juta penduduknya hidup di kota-kota besar. Bahkan negeri yang sekarang dipimpin Presiden Dilma Rousseff itu merupakan satu dari empat negara BRIC, negara baru dengan ekonomi maju—bersama Rusia, Cina, dan India.
Dengan ekonomi jauh lebih baik, sebuah ironi besar bila Neymar dan kawan-kawan gagal merebut Piala Dunia di rumah sendiri. Turnamen ini juga merupakan pertaruhan politik Dilma, yang akan mempertahankan kursinya pada pemilu Oktober 2014.
Bukan berarti segala tentang Piala Dunia akan diterima rakyat begitu saja. Pembengkakan anggaran pembangunan dan renovasi stadion mendatangkan protes masyarakat. Penyelesaian pembangunan dan renovasi stadion—dari 12 stadion yang akan dipakai, lima stadion dibangun dari nol—terganggu protes rakyat dan tewasnya dua pekerja Stadion Sao Paulo, pada November tahun lalu.
Toh, pemerintah Brasil all-out. Dengan dana Rp 129 triliun, Piala Dunia ini menjadi yang termahal sepanjang sejarah. Untuk hadiah saja disiapkan Rp 5,3 triliun, termasuk hampir setengah triliun rupiah untuk sang juara. Namun, jika semua rencana terwujud, ditaksir turnamen ini masih mendatangkan laba sekitar Rp 50 triliun.
Yang menjadi pertanyaan besar: apa yang akan dilakukan Brasil dengan 12 stadion megah itu setelah Piala Dunia ke-20 selesai? Stadion itu memerlukan acara-acara besar untuk mengembalikan biaya pembangunan yang begitu besar. Tanpa merebut perhatian warga sepak bola dunia dari Inggris, Spanyol, atau Italia, investasi raksasa itu akan sia-sia. Kompetisi lokal hanya mendatangkan uang recehan.
Usaha mengalihkan mata dunia ke Amerika Selatan bukan mustahil. Sebagai tontonan, kualitas individu pemain Brasil dan sekalian tetangganya tak kalah dengan benua lain. Mereka hanya kalah dalam hal marketing, soal menjual sepak bola dalam kemasan industri olahraga yang enak ditonton dan mendatangkan duit besar. Lihatlah 736 pemain dari 32 negara yang berlaga di Brasil 2014 ini.
Dari jumlah itu, 114 pemain bermain di Liga Inggris. Ada 81 pemain yang mencari penghidupan di Jerman, dan 78 orang membela klub-klub Italia. Jumlah yang hampir sama bertanding di Liga Spanyol. Tercatat ada 26 pemain yang bermain di kompetisi Turki.
Eropa memang semacam vacuum-cleaner bagi seluruh pemain terbaik dunia. Dari 297 klub yang “mengirimkan” pemainnya ke Brasil 2014, klub-klub Eropa masih mendominasi. Sebanyak 28 klub Inggris merelakan pemainnya berlaga membela negara masing-masing di Brasil. Begitu juga 21 klub Jerman. Yang disedot termasuk 76 pemain yang lahir di Brasil dan sekarang menjadi warga negara-negara Eropa.
Ironisnya, belum sekali pun negara Eropa mampu merebut gelar juara di Amerika Selatan. Bagaimana kali ini? Saya tak yakin Neymar dan Thiago Silva cs akan membiarkan Eropa banyak tingkah di rumah mereka.