TEMPO.CO, Jakarta - Telinga para pemain Brasil sekarang menjadi sangat akrab dengan lagu Ta Escrito (Telah Ditakdirkan) dari grup Revelacao. Pelatih Luiz Felipe Scolari kerap memutarkan lagu ini untuk mereka saat menjalani pemusatan latihan di Teresopolis. Iramanya riang dan bersemangat khas beat Samba. “Tuhan telah menunjuk satu bintang untuk kita,” begitu bunyi salah satu baris dalam liriknya. Bek kanan, Dani Alves, termasuk yang menyukai baris itu.
Inilah salah satu metode Scolari untuk membangkitkan semangat anak buahnya. Cara yang sama pernah sukses ia terapkan saat membawa Brasil menjuarai Piala Dunia 2002 di Korea-Jepang. Saat itu lagu yang dia putar di ruang ganti adalah Que la Vida Me Conduzca (Biarkan Hidup Membimbing Kita) dari kelompok Zeca Pagodinho. Metode-metode 2002 yang lain juga dia ulang saat ini, meski dengan beberapa pengembangan.
Scolari berpendapat, memiliki pemain dengan bakat istimewa dan bermain di negara sendiri saja tak cukup. Dia menuntut pemainnya tetap menjaga niat baik, kedisiplinan, dan semangat pemenang.
Saat kecil, Felipao (Si Mulut Besar, julukannya) ingin menjadi tentara. Meski akhirnya menggeluti sepak bola, baik sebagai pemain maupun pelatih, Scolari tetap memegang prinsip-prinsip keprajuritan. Terutama soal disiplin dan semangat pantang menyerah.
Ihwal pengetahuan militer, mantan pelatih Chelsea ini mengagumi buku The Art of War yang ditulis ahli militer Cina, Sun Tzu. Buku itu selalu ada di laci kamarnya di mana pun dia tidur, termasuk sekarang di Teresopolis. Delapan tahun lalu, dia membawa buku yang sama di penginapannya bersama tim nasional Portugal pada Piala Dunia 2006.
Empat tahun sebelumnya, lebih gila. Tak sekadar membacanya sendiri, pria bersuara berat itu menulis ulang inti sari pelajaran Sun Tzu. Dia memfotokopinya banyak-banyak. Lalu setiap pemain nasional Brasil mendapat satu lembar, juga para stafnya. Scolari ingin mereka semua satu atmosfer dengan perasaannya: pergi ke medan perang. Hasilnya, Brasil menjadi juara di Korea-Jepang.
Tapi zaman telah berganti. Generasi pemain Brasil juga berubah. Tak ada lagi Rivaldo, Ronaldo, dan Ronaldinho di lini depan Seleccao—julukan Brasil. Yang ada sekarang adalah Neymar, Fred, dan Hulk. Metode suntikan motivasi pun harus berubah.
Sebagai ganti Sun Tzu yang hidup pada era antah-berantah, Scolari menghadirkan tokoh-tokoh riil untuk para pemainnya. Dua hari dalam sepekan selama masa persiapan, mantan pemain belakang ini mengisinya dengan sesi khusus pelatihan motivasi. Bukan hanya tokoh dunia sepak bola, seperti mantan pelatih Ruben Minelli, yang dia boyong, tapi juga Carlos Alberto Julio, seorang pengusaha sekaligus penulis sukses.
Carlos Alberto Julio menerangkan kepada para pemain bahwa bakat individual hanya bisa dikalahkan oleh bakat-bakat yang bermain secara kolektif. Sedangkan Minelli menekankan pentingnya pengorbanan. Dia mengatakan, selama 30 hari, para pemain akan berkorban. Tapi, bila juara, mereka bisa menikmatinya 1.430 hari sampai Piala Dunia berikutnya digelar!
Untuk dirinya, Scolari mengulang ritual yang dulu dia lakukan menjelang berangkat ke Korea-Jepang. Saat itu, dia menyempatkan diri mengunjungi Gereja Nosa Senhora de Caravaggio di Farraupilha, Rio Grande do Sul, Brasil bagian selatan. Ini bangunan yang didirikan para imigran asal Italia pada 1880. Bagi para jemaatnya, gereja ini menjadi bangunan tersuci dan tersakral kedua setelah Vatikan.
Awal Mei lalu, Scolari kembali ke Farraupilha. Istrinya, Olga, dan dua anak perempuannya ikut mendampingi. Otoritas gereja sengaja memberinya tempat duduk tepat di depan altar suci saat misa pagi berlangsung. Scolari mengaku ingin mendapat kekuatan dari pemberkatan imam.
Setelah batin ditata, semangat dibubungkan, persiapan teknik disempurnakan, Brasil siap menyongsong hexacampeonato (juara dunia keenam kalinya), meninggalkan era pentacampeonato (juara dunia lima kali). Hasilnya, meski belum bermain selayaknya tim juara dalam laga perdana, Jumat dinihari lalu. Namun setidaknya mereka berhasil menekuk Kroasia 3-1.
Dan di ruang ganti, sebelum kickoff serta saat jeda, alunan Ta Escrito mengentak: “Tak ada yang bisa menghambat mereka yang memang dilahirkan untuk menjadi juara….”
Andy Marhaendra (Kontributor Tempo)