TEMPO.CO, Jakarta - Selama meliput perhelatan Piala Dunia 2018, saya lebih banyak memakai angkutan publik. Selain pilihannya banyak dan tarifnya murah, kecepatan dan ketepatan waktu operasional mereka bisa diandalkan.
Di Moskow, misalnya, kereta bawah tanah alias metro jelas menjadi pilihan utama untuk menghindari macet di jalanan. Jaringan dengan 13 jalur metro ini beroperasi selama 20 jam, sejak pukul 05.30. Ketika hari pertandingan, otoritas metro memperpanjang jam operasional hingga pukul 03.00.
Bermanuver menjelajah Moskow memang lebih cepat menggunakan metro. Setiap hari, metro Moskow mengangkut sekitar tujuh juta penumpang. Tak perlu khawatir harus lama menunggu lagi saat ketinggalan kereta. Interval kedatangan kereta 60-90 detik sehingga tak ada penumpang berjubel di peron.
Di kota lain, seperti Yekaterinburg dan Kazan, bus-bus kota lebih bisa diandalkan. Lagi pula hanya ada satu jalur metro di kota-kota ini. Trayek bus-bus terpampang di setiap halte serta di peta digital, seperti Google Map dan 2GIS. Jalanannya pun tak seramai Moskow sehingga arus lalu lintas mengalir lebih lancar.
Tak ada jadwal waktu kedatangan bus yang terpampang. Meski demikian, ada perkiraan waktu interval kedatangan bus yang bervariasi 5-10 menit. Di beberapa halte sudah dilengkapi dengan papan elektronik yang menunjukkan posisi terakhir bus. Tentunya semua petunjuk dibuat dalam bahasa Rusia.
Meski begitu, tak perlu khawatir jika tak bisa berbahasa Rusia. Anda tinggal bertanya kepada warga lokal dengan menunjukkan nama tempat yang dituju. Bahkan ada juga warga lokal yang ikut menunggu sampai bus yang ditanya datang dan memberi tahu kondektur tentang tempat tujuan si turis asing.
Saya jarang melihat pengemudi bus-bus di sini kebut-kebutan ala angkutan umum di Jakarta. Padahal kalau melihat lengangnya jalanan kota, mereka bisa saja melakukannya. Mereka patuh karena di beberapa ruas jalan terpasang kamera pemantau kecepatan.
Melanggar batas kecepatan bisa jadi urusan panjang. Selain kena tilang, izin mengemudi juga bisa dicabut. Beberapa kali saya pernah merasakan gaya mengemudi sopir yang agak ugal-ugalan. Kebanyakan adalah pengemudi marshrutka, minibus milik perusahaan transportasi swasta. Namun dibanding gaya sebagian pengemudi angkot Jakarta, rasanya sopir marshrutka itu masih tergolong kalem.
Jarang pula ada sopir yang ngetem alias menunggu busnya penuh penumpang baru meluncur. Bus-bus itu tak pernah berhenti lebih dari 30 detik di setiap halte. Kalau terlalu lama, mereka bisa dimarahi sopir atau kondektur dari bus-bus yang datang belakangan. Meski demikian, para sopir bus itu bersedia menunggu agak lama, jika ada penumpang yang kebetulan terlambat datang dan memanggilnya.
Tak ada jeleknya bila pengelolaan angkutan umum di negeri ini belajar pada Rusia.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA