TEMPO.CO, Rio de Janeiro - Laporan langsung melalui siaran radio itu mereka dengarkan dengan saksama. Nyaris tak ada yang terlewat. Suasana hati pun riang. Brasil dan Uruguay bertahan pada skor 1-1. Dalam peraturan kompetisi saat itu, mereka bisa menjadi juara hanya dengan bermain imbang. Mereka hanya perlu 12 menit.
Namun, bencana datang pada menit ke-79. Tendangan pemain Uruguay Alcides Gighia—dari sisi kiri pertahanan Brasil—tak berhasil dibendung kiper Moacir Barbosa yang salah mengambil posisi. Skor berubah untuk Uruguay.
Seketika, seperti yang terdengar melalui laporan di radio itu, suasana di Maracana senyap. Tak ada satu pun penonton di sana—yang didominasi oleh penonton tuan rumah—yang buka suara. Sebanyak 80 ribu penonton hilang suara.
Jair Marinho, 78 tahun, masih mengingat kedukaan di tengah keluarganya yang terjadi 64 tahun silam tersebut. Setelah gol itu terjadi, semua orang di rumahnya di kawasan Santo Padua, di luar Kota Rio de Janeiro, diam seribu bahasa. “Lalu kami semua menangis. Brasil gagal menjadi juara di Maracana,” kata dia pelan.
Kedukaan tidak saja terjadi di rumah Jair, tapi juga di seluruh Brasil. Mahkota juara dari kompetis--yang baru berputar lagi setelah Perang Dunia--yang sudah di tangan tiba-tiba raib.
Lebih berat lagi untuk Barbosa. Sepanjang hidupnya, dia tertekan dalam sebuah penderitaan. Masyarakat Brasil menuding dia sebagai orang yang paling berdosa dalam pertandingan itu.
“Karena trauma yang berat, pihak federasi sepak bola Brasil sejak itu tidak mau lagi menggunakan penjaga gawang berkulit hitam seperti Barbosa,” ujar dia. “Mereka trauma berat.”
Menggelar kembali kejuaraan empat tahunan ini di negeri sendiri, tragedi Maracana tidak lantas hilang. Orang-orang di Brasil pun sepertinya ingin peristiwa itu benar-benar terlupakan. Salah satunya adalah sebuah grafitti yang menggambarkan Neymar sedang meniup hantu berwarna biru—yang tak lain adalah Uruguay.
Toh, kekhawatiran itu tetap saja ada. Pada akhirnya, bukan persoalan bencana di Maracana yang ditakutkan, melainkan pertarungan melawan Uruguay. Andai Luis Suarez Cs bisa menghabisi Italia di pertandingan akhir Grup D, bisa jadi pertemuan dengan Brasil terjadi bukan di partai puncak.
“Sebenarnya sudah tidak relevan lagi membicarakan trauma itu. Pemain sekarang belum lahir saat itu,” kata legenda sepak bola Brasil, Zico, kepada Tempo akhir Mei lalu. “Persoalannya ketika mereka bertemu, orang-orang pasti akan mengaitkannya, juga media. Ini akan menjadi persoalan buat pemain yang mayoritas masih muda,” kata dia.
Orang Brasil mana pun tidak ingin tragedi pahit itu terjadi kembali, terutama orang-orang yang pernah mengalaminya, seperti Jair Marinho. Pada hari tuanya, saat turnamen ini digelar kembali di negerinya sendiri, dia ingin Selecao berhasil meraih gelarnya yang keenam kalinya.
Tentu bukan hal sebaliknya ketika mereka harus menangis karena terluka di rumah sendiri. “Saat itu perasaan kami hancur. Seperti sesuatu yang kita miliki tiba-tiba hilang,” kata dia, juga dengan nada kesedihan.
IRFAN BUDIMAN (RIO DE JANEIRO)
Berita lain:
Hazard Jadi Pahlawan Belgia Lawan Rusia
Aljazair Bikin Korea Selatan Keok 4-2
Del Bosque Ingin Pensiun dari Timnas Spanyol