Toh, saya tak mampu menyembunyikan kebingungan di hari pertama kedatangan ke Johannesburg, Selasa lalu. Tapi karena itu saya bisa menemukan dua wajah Afrika Selatan yang berbeda, dalam tempo setengah jam saja.
Saat itu saya kehilangan kontak dengan pemilik kamar yang semula akan saya sewa. Mencari kamar baru jelas bukan urusan gampang. Kabarnya, menjelang pembukaan Piala Dunia, hotel-hotel sudah penuh dipesan, dengan harga melambung pula.
Saya putuskan bertanya kepada tiga petugas akreditasi media yang tengah ngobrol di halaman salah satu kantor Stadion Ellis Park. Mereka tampak ramah, tapi tak bisa memberi banyak info dan menyarankan bertanya kepada sopir taksi.
Masalahnya, di sekitar situ tak kelihatan taksi mangkal maupun lewat. Untung salah seorang petugas itu, Julius, bersedia mengantar ke tempat taksi mangkal, dengan berjalan sekitar satu setengah kilometer. Ia bahkan membantu membawakan koper saya. Saat tiba di pangkalan taksi, ia juga menolong saya mencari info soal kamar hotel dan membantu melakukan tawar-menawar ongkos dengan sopir taksi.
Saat semua beres, lelaki 30 tahunan itu bahkan meminta kartu nama. "Supaya saya bisa memantau," katanya. Saya berkali-kali mengucapkan terima kasih saat menjabat erat tangannya untuk pamit. Ia tersenyum dan berkelakar, "Seharusnya Anda memberi saya tip."
Sopir taksi yang membawa saya ke hotel juga banyak tersenyum. Masta, lelaki 50 tahunan itu, meyakinkan saya bahwa hotel yang kami tuju aman dan murah. Saat tiba, sekitar hanya tujuh menit kemudian, masalah muncul. Harga 40 rand (Rp 40 ribu) yang semua ia sepakati, naik jadi 70 rand. Saat saya menyatakan akan membayar dengan dolar, ia pun memberi hitungan aneh. Saya akhirnya terpaksa harus membayar 15 dolar, atau sekitar 100 rand. Ia berseri-seri saat menerima uang itu. "Kalau Anda perlu taksi, telepon saja saya," katanya.
Hmm, supaya saya jadi perahan lagi, batin saya dalam hati. Untungnya, hotel pilihannya lumayan juga dan memang ada kamar kosong yang tersedia.
NURDIN SALEH