TEMPO Interaktif, Demam Piala Dunia sedang terjadi di mana-mana. Tak peduli apakah itu di negara yang memang tim nasionalnya sedang berlaga di Afrika Selatan, atau negeri yang entah kapan bisa meloloskan 11 pemainnya ke pentas dunia. Masing-masing punya tim yang dijagokan untuk menjadi juara.
Amerika Serikat juga punya wakilnya. Tapi warga Amerika tak terlalu ambil pusing. Pembicaraan soal apakah Los Angeles Lakers atau Boston Celtics yang akan menjuarai liga basket nasional NBA tahun ini jauh lebih menarik ketimbang membahas sukses tim Amerika menahan imbang Inggris pada Sabtu pekan lalu.
Sepak bola boleh saja menjadi olahraga paling populer di jagat ini. Tapi hal itu tak berlaku di Negeri Abang Sam. Meski FIFA pernah memutuskan menggelar Piala Dunia 1994 di Amerika, dengan mengesampingkan Maroko dan Brasil sebagai kandidat tuan rumah seraya berharap minat terhadap olahraga ini meningkat, toh, kenyataannya belum ada perubahan secara signifikan.
Rekan saya di Baltimore maupun di Portland mengabarkan bahwa gaung Piala Dunia 2010 tak terlalu terdengar di sana. Pemberitaan di media massa hanya mendapat porsi secukupnya. Sulit untuk menjadi berita utama di halaman olahraga, apalagi halaman depan. Betul bahwa siaran langsung di ESPN dan jaringan televisi nasional ABC mendapat rating cukup bagus. Tapi siaran itu lebih banyak ditonton oleh warga pendatang.
Sepak bola, atau mereka menyebutnya soccer, dianggap bukan olahraganya orang Amerika. Sepak bola tak disukai lantaran minim aksi. Pertandingan olahraga seharusnya berlangsung dalam tempo cepat dan menghasilkan banyak angka. Dalam sepak bola, seorang pemain bisa berlari sejauh 10 kilometer tanpa menghasilkan sesuatu. Ini mubazir.
Mungkin ini alasan yang terlalu dibuat-buat. Sebab, golf, misalnya, jelas bukan olahraga yang menampilkan kecepatan dan aksi. Meski begitu, warga Amerika tak hanya tertarik oleh olahraga ini, tapi bahkan terobsesi. Dan golf kini telah menjadi industri yang sangat besar di Amerika.
Ada yang menarik pada tulisan Andrei S. Markovits dan Steven L. Hellerman dalam bukunya, Offside: Soccer and American Exceptionalism. Diungkapkan bahwa keengganan warga Amerika menerima sepak bola adalah sebagai bagian dari apa yang disebut "American exceptionalism", yaitu keyakinan bahwa Amerika adalah negara unik dalam tatanan dunia, pemimpin dunia, dan negara adikuasa.Salah satu poin yang dikemukakan adalah dalam pertandingan sepak bola terkadang tim lemah dapat mengalahkan tim kuat hanya lantaran adanya faktor keberuntungan. Selain itu, tak jarang terjadi kebuntuan yang berakibat pada tak adanya pemenang sebagai cerminan hilangnya superioritas dari salah satu tim. Ini melanggar keyakinan dasar warga Amerika yang menyukai keadilan. Adil dalam pengertian yang kuat harus dominan dan si lemah perlu dibantu.
Tapi apakah hanya itu alasan sepak bola ditolak--jika tak ingin dikatakan dibenci? Timothy Sexton dari Associated Content mengajak untuk lebih jauh memahami kultur Amerika. Sebelum Amerika menjadi superpower seperti sekarang, para pendahulu mereka membangun dari sesuatu yang tak ada. Membangun adalah dengan menggunakan kekuatan tangan.
Dalam sepak bola, tangan justru tak boleh digunakan. Haram menyentuh bola dengan tangan. Ini adalah olahraga yang murni mengandalkan keterampilan kaki mengolah si kulit bundar. Jelas ini tak sejalan dengan semangat para pendahulu mereka untuk menjadi "orang Amerika".
Pada akhirnya, sepak bola memang belum sepenuhnya bisa diterima di Amerika, negeri multietnis impian para imigran. Meski begitu, perlahan tapi pasti, olahraga yang menampilkan pergerakan yang terus-menerus dan dinamis, ketangkasan dan keanggunan, maupun visi dan kecerdasan ini mulai berkembang di sana, terutama di kalangan muda dari golongan pendatang.
Firman Atmakusuma