TEMPO Interaktif, Kini sudah pasti tiada lagi yang ragu bahwa dunia berputar mengelilingi bola yang juga berpusing. Pada saat tertentu seperti sekarang ini, apalagi. Pesta sepak bola sejagat, suka atau tidak, telah membuat dunia bergerak sedikit tak normal, sebab perhatian sebagian penghuninya tersedot ke sana. Berapa banyak orang yang mengarahkan televisinya ke siaran pertandingan yang ada, menyaksikan 22 orang berlarian ke sana-sini mengejar dan menendang bola?
Kevin Alavy, pakar tentang pola penonton acara olahraga di televisi, memperkirakan Piala Dunia kali ini akan menyedot audiens rata-rata 125 juta orang per pertandingan. Dalam perbandingan yang mudah dibayangkan (atau mengejutkan) penonton televisi di Amerika Serikat, negara yang menyebut sepak bola sebagai soccer, angka ini setara dengan penonton televisi untuk 64 pertandingan penentuan juara football--biasa disebut super bowl--selama sebulan.
Pada kajian initiative futures sport and entertainment itu, angka rata-rata mencerminkan penonton yang menyaksikan tayangan secara utuh di rumah. Lembaga dari London, Inggris, tempat Alavy menjadi salah seorang direktur, itu menelaah data organisasi-organisasi riset pasar, seperti Nielsen dan BARB, yang meliputi 55 pasar utama televisi. Seluruhnya merupakan 90 persen dari total pemirsa televisi di lingkungan rumah tangga.
Menurut Alavy, pertandingan final di Stadion Soccer City, Johannesburg, pada 11 Juli nanti, diperkirakan akan menjadi magnet bagi 330 juta hingga 350 juta penonton. "Tentu saja akan ada perbedaan angka yang signifikan, tergantung siapa yang ke final," katanya. Jumlah terbesar dicapai apabila Brasil bertemu dengan Inggris--yang hanya mungkin berlangsung jika satu di antara mereka gagal menjuarai grup dan terus menang hingga babak pamungkas.
Banyak hal bisa terjadi sesudahnya, siapa pun yang mencapai garis akhir. Saat Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat, misalnya, seusai partai puncak di Stadion Rose Bowl, Pasadena, setiap anak laki-laki yang lahir di Brasil dinamai Romario dan irisan lapangan Stadion Rose Bowl laku keras meski harganya sama dengan enam porsi Big Mac. Kita bisa menyebutnya kegilaan, eksploitasi yang kelewatan, manipulasi, apa saja. Tapi satu hal pasti: sepak bola adalah karnaval yang memanjakan mata siapa pun yang menontonnya dan kegembiraan bagi mereka yang memainkannya. Steve Vai boleh memainkan For the Love of God dengan Ibanez-nya. Bagi umat sepak bola, lagu itu bisa berjudul For the Love of Football.
Ada kebahagiaankah di sana? Benar, jika setiap tim memberi suporternya, dalam kata-kata Andrew Guest, seorang sosiolog pencinta sepak bola, "kesempatan langka--nyata maupun sekadar dipersepsikan--untuk saling terhubung di tengah tekanan degradasi sosial kehidupan modern". Yang jelas, poin tentang karnaval dan kegembiraan itulah yang sangat boleh jadi menyebabkan sepak bola terus-menerus dimainkan dan tak pernah berhenti membuat takjub.
Dengan kata lain, sepak bola punya kemampuan untuk mengejutkan setegar karang. Sepak bola telah menjadi seni tentang yang-tak-teramalkan. Jangan terlalu mempercayai komentator dan analis. Ketika kita tak mengharapkannya, yang mustahil justru terjadi. Tim unggulan bisa takluk kepada tim yang diremehkan. Daud versus Jalut di dunia modern. Siapa mengira Spanyol kebobolan gol tanpa bisa membalas saat melawan Swiss?
Maka, sampai pesta benar-benar berakhir, yakni ketika bola sepenuhnya berhenti menggelinding, tawa dan tangis, senang dan kecewa, pasti datang bergantian. Bagi pencinta sepak bola yang tulus, semua itu pastilah kejadian sesaat belaka. Dan bagi mereka yang bisa menyisihkan segala ekses akibat kian dominannya uang dalam peristiwa pagan massal ini, filsuf eksistensialis Albert Camus mungkin masih bisa menjadi sandaran bahwa, katanya, "Segala hal yang kutahu tentang moralitas dan kewajiban manusia, aku berutang pada sepak bola."
Purwanto Setiadi