TEMPO Interaktif, Penampilan para pemain Korea Utara saat menghadapi Portugal di Grup G Piala Dunia kali ini cukup mengesankan, terutama pada babak pertama. Tapi, memasuki babak kedua, permainan tim itu mengendur. Pertahanan menjadi lebih terbuka. Akibatnya, tujuh gol bersarang di gawang skuad besutan Kim Jong-hun ini.
Menurut Kim, pertahanan dan daya gedor tim asuhannya mulai berantakan ketika kebobolan pada babak pertama. "Setelah gol pertama itu, permainan kami menurun drastis. Para pemain mulai terlihat panik. Stamina kami pun loyo, terutama pada babak kedua," katanya sesuai pertandingan.
Menurun dia, daya tahan fisik para pemain sepak bola memasuki 20 menit terakhir pertandingan lazim terjadi. Dampaknya, koordinasi antarlini lapangan menjadi berantakan. Hal ini membuat para peneliti olahraga tertarik untuk mengetahui penyebabnya.
Sebuah studi dipublikasikan di International Journal of Sport Nutrition. Salah satu saran yang diajukan adalah para pemain sepak bola seharusnya, sebelum dan sesudah bertanding, mengkonsumsi makanan dan minuman seperti yang dilakukan atlet maraton atau pelari jarak jauh.
Sekilas, sepertinya tak ada hubungan antara pemain sepak bola dan pelari maraton. Sebab, sepak bola adalah olahraga yang mengutamakan kecepatan dan energi yang meledak-ledak. Sedangkan pelari maraton mengutamakan daya tahan fisik yang konstan dan lama. Tapi sebenarnya kedua olahraga itu memiliki kemiripan.
Dalam sebuah pertandingan sepak bola, seorang pemain dapat berlari sejauh 10-11 kilometer. Itu dalam kecepatan sedang. Adapun untuk berlari kencang, ia akan menempuh sekitar 800-1.200 meter. Pemain sepak bola juga melakukan 40-60 akselerasi berbeda dan mengubah arah lari setiap lima detik.
Meski pemain sepak bola tak pernah berlari hingga 42 kilometer--jarak tempuh lomba lari maraton--aktivitas yang dilakukan, seperti lari cepat dan sedang, membutuhkan energi besar. Energi itu didapat dari otot-otot kaki sebagai penyimpan glikogen atau karbohidrat.
Glikogen adalah bentuk simpanan dari glukosa di tubuh manusia. Glikogen terkumpul dan disimpan terutama di hati dan otot. Secara struktur, glikogen sangat mirip amylopectin dengan alpha acetal. Namun glikogen memiliki lebih banyak glukosa ketimbang amylopectin, yakni sekitar 1.700-600 ribu unit glukosa.
Sebagai contoh, ketika seorang pemain sepak bola berlari cepat selama enam detik, glikogen yang terpakai adalah 15 persen. Sedangkan ketika berlari sedang selama 30 detik, glikogen yang terpakai mencapai 30 persen.
Tingginya intensitas olahraga sepak bola membuat jumlah glikogen cepat berkurang. Ditambah lagi durasi permainan sepak bola yang mencapai 90 menit membuat otot kaki hampir kehilangan seluruh glikogennya.
Dalam studi terbukti bahwa seorang pemain akan kehilangan 90 persen glikogen saat bermain bola. Jumlah itu lebih dari cukup untuk membuat badan terasa lelah dan kemampuan berlari berkurang.
Sayangnya, kebanyakan pemain sepak bola tak tahu pentingnya mengkonsumsi karbohidrat sebelum bertanding. Mereka biasanya hanya mengkonsumsi 1.200 kalori per hari. Angka itu jauh dari kebutuhan optimal, yang mencapai 2.400-3.000 karbohidrat kalori.
Dampaknya, tingkat glikogen pemain saat bertanding jauh di bawah jumlah yang dibutuhkan agar tetap fit sepanjang 90 menit. Pemain dengan kadar glikogen rendah umumnya akan mulai merasa kehilangan tenaga saat pertandingan memasuki babak kedua.
Pemain dengan glikogen buruk tak akan bertahan sepanjang 90 menit. Larinya melambat dan total jarak yang ditempuh berkurang dibandingkan dengan pemain dengan glikogen berkecukupan, terutama di babak kedua.
Pelari maraton sadar akan pentingnya jumlah glikogen yang cukup. Sebab, mereka harus mampu bertahan berlari dalam kecepatan yang konstan untuk menempuh jarak sepanjang 42 kilometer tanpa henti.
Itu sebabnya, seorang pemain sepak bola harus meniru pelari maraton soal makan dan minum jika ingin tetap fit sepanjang 90 menit.
l ELMHURST | FIFA | FIRMAN ATMAKUSUMA