TEMPO Interaktif, BAYANGKAN Piala Dunia 2010 dimainkan di Stadion Utama Senayan Jakarta. Lalu "tragedi Inggris vs Jerman" itu terjadi. Frank Lampard menendang bola sekuat tenaga ke gawang Jerman yang dijaga kiper Manuel Neuer. Bola membentur tiang atas gawang, lalu menerobos ke bawah dan masuk sekitar 10 sentimeter lewat garis gawang. Wasit Jorge Larrionda dari Uruguay tak mengesahkan tendangan itu sebagai gol! Saya terbayang reaksi publik Senayan. Akan muncul kor membahana: wasit goblok, wasit geblek, wasit goobloook?.
Syukur-syukur kalau hanya umpatan. Salah-salah Larrionda mengalami nasib seperti Muzair. Pada November 2008, wasit malang itu dipukuli dan dikeroyok pemain PSIR Rembang di Kotamobagu, Sulawesi Utara. Muzair memberi kartu merah dalam pertandingan PSIR melawan Persibom Bolaang Mongondow. Muzair tak mampu meneruskan tugas, diganti oleh wasit Jusman. Gilanya, Jusman yang tetap mempertahankan kartu merah yang diberikan Muzair ganti dijadikan samsak hidup pemain PSIR. Dua wasit itu babak-belur. Tiga pemain PSIR Rembang akhirnya diskors seumur hidup.
Nasib "pengadil" lapangan hijau di Piala Dunia Afrika Selatan jauh lebih baik. Paling-paling ada penonton yang memaki-maki--dalam bahasa yang mungkin tak dipahami sang wasit.
Suporter Inggris pasti menganggap Larrionda telah merampok gol "kedua" Inggris. Kalau tendangan Lampard disahkan, kedudukan berubah menjadi 2-2, bukan tak mungkin semangat Inggris menyala-nyala dan memenangi pertandingan. Itu pendapat pembela Inggris. Yang membela Jerman akan berkata santai, "Anggaplah tendangan Lampard diakui sebagai gol, bukankah kedudukan masih 4-2 untuk Jerman."
Larrionda memang dikenal sebagai killer. Sejak berkarier pada 1999, wasit 42 tahun itu mencatatkan rekor 70 persen mencabut kartu merah dalam pertandingan yang dipimpinnya. Di Piala Dunia 2006, bekas penyerang kelahiran Montevideo itu mengusir tiga pemain ke luar lapangan. Pada 2002, justru Larrionda diskors enam bulan oleh Konfederasi Sepak Bola Uruguay.
Malam itu Larrionda tak hanya mencabut kartu merah, tapi juga mengusir Inggris dari turnamen paling bergengsi itu. Kabarnya, ia yang menonton replay kejadian itu setelah pertandingan agak menyesali keputusannya. Toh, nasi sudah menjadi bubur.
Bukan Larrionda seorang yang patut disalahkan. FIFA, Federasi Sepak Bola Internasional, juga layak ikut dikecam. FIFA menolak penggunaan goal-line technology--yang akan memastikan bola melewati garis gawang. Pernah pula ada ide memasang semacam chip pada bola yang akan memberi sinyal atau suara bila melewati garis gawang. FIFA belum mengizinkan pemakaian teknologi canggih itu--untuk alasan tak jelas.
Keputusan menyedihkan itu akan digugat kembali akibat "tragedi Frank Lampard" ini. Padahal inilah turnamen paling banyak ditonton di dunia. FIFA minta peserta menegakkan fair play, tapi menolak memasang teknologi yang sanggup menjamin keadilan itu. Sulit diterima akal sehat, betapa nasib tim yang bertarung mati-matian hanya diserahkan pada mata telanjang wasit dan hakim garis.
Lagi pula, teknologi serupa sudah dipakai di cabang tenis sejak 2007. Teknologi bernama "mata elang" (hawk eye) membantu wasit memastikan bola jatuh di dalam atau di luar garis. Pemain punya opsi untuk meminta wasit memutar rekaman di layar raksasa bila tak puas dengan keputusan wasit. Cabang atletik juga sudah lama menerapkan teknologi sejenis untuk memastikan juara lari sprint, misalnya.
FIFA tak boleh menutup mata pada kebutuhan memberi "keadilan" di lapangan hijau ini. Keputusan terjadi gol, puncak momen pada olahraga sepak bola, tak boleh diserahkan pada mata telanjang wasit. Sudah waktunya wasit memakai "mata elang".
Toriq Hadad