TEMPO.CO, Jakarta - Dua pekan lalu, seorang teman Brasil saya mengajak untuk mendatangi sebuah acara. “Pesta dan ada makan-makannya,” katanya. Rupanya itu adalah undangan dari caleg.
Saya pikir boleh juga. Paling tidak, bisa tahu bagaimana gaya caleg di Negeri Bola ini. Pengundangnya adalah anak dari legislator yang mencoba peruntungan seperti ayahnya. Caleg ini maju mewakili wilayah Rio de Janeiro.
Pemilihan umum di negeri ini diselenggarakan pada Oktober nanti. Tapi para kandidat anggota legislatif perlu segera menggalang dukungan. Salah satunya adalah acara ini. Tim pemenangannya mengundang orang-orang dari seluruh Provinsi Rio de Janeiro, yang dianggap sebagai pendukung mereka.
Alhasil, pagi-pagi sekali, bus—katanya juga disediakan sang caleg—sudah siap mengangkut mereka ke sebuah tempat di Itaborai, yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Rio de Janeiro. Yang terbayang di kepala saya, tempat ini adalah lapangan luas—layaknya di Indonesia. Dan, pasti ada panggung musik, paling tidak samba sebagai pengganti musik dangdut.
Nyatanya saya keliru. Tempat yang disediakan adalah tempat rekreasi nan luas. Namanya Mega Ville. Tak ada lapangan di sana. Yang ada adalah tiga kolam renang dengan ukuran besar. Salah satunya untuk anak-anak.
Begitu datang, berbagai minuman, termasuk bir, dan penganan tak pernah berhenti disediakan oleh pelayan berseragam putih-hitam. Belum lagi habis, pelayan berbeda datang untuk menuangkan minuman di gelas.
Anak-anak dan orang dewasa pun segera menceburkan diri ke kolam renang. Iringan musik samba sampai bossas pun terdengar bergantian. Saat itu sang pengundang belum datang.
Lepas tengah hari, terdengar bunyi helikopter. Dari perut heli itu, sang caleg turun dan langsung menuju mimbar yang sudah disiapkan untuknya berpidato. Beberapa mercon pun terdengar mengiringi langkahnya. Berbagai spanduk dukungan tiba-tiba muncul di pinggir kolam.
Di atas panggung, dia pun berbicara. Menurut teman Brasil saya, dia tengah mengumbar janji-janji manis. Namun suaranya tenggelam oleh mereka yang tengah asyik menikmati kecipak air.
Orang-orang yang ada di sana, yang dia undang, juga tidak menghentikan kegiatannya. Ada yang antre untuk bersantap siang, minum bir, dan tak sedikit yang berjemur.
Sesuai dengan waktu yang ditentukan. Pada pukul 4 sore, mereka pun berkemas. Perut sudah kenyang, jari-jari di tangan pun sudah keriput, selanjutnya mereka pulang. Namun si caleg terus nyerocos dengan isi omongan yang, katanya, tetap sama mempromosikan diri.
Memang unik acara itu. Suasananya tak beda dengan rekreasi bersama ketimbang mendengarkan ocehan si caleg. Yang jelas, pesan sudah sampai. Mereka yang sudah dijamu makanan dan minuman diharapkan akan memilihnya.
Benarkah? “Saya belum tentu memilihnya,” kata seorang warga sambil tersenyum. “Yang penting nikmati makan-makannya.”
Eh, sama saja rupanya.