TEMPO.CO, Jakarta - Kalau saja Bill Shankly masih hidup, manajer legendaris Liverpool yang berpulang 33 tahun lalu itu mungkin geleng-geleng kepala. Kutipan terkenalnya, soal sepak bola lebih penting daripada sekadar urusan hidup dan mati, kini tak lagi berlaku. Setidaknya buat Inggris dan Uruguay—dua tim yang nanti malam “baku-bunuh” di Arena Corinthians, Sao Paulo.
Shankly di satu sisi benar. Sebab, sepak bola sesungguhnya adalah “bius” asyik bagi para penikmatnya yang rela duduk berjam-jam bergunjing tentang sederet drama, tentang adagium unik, tentang teori ketidakmungkinan yang banyak mencuat. Juga di Brasil 2014, saat metabolisme tubuh diaduk-aduk extravaganza empat tahunan itu.
Tapi di sisi lain ini tak berlaku, paling tidak sementara, bagi Diego Lugano. Kapten Uruguay yang dilepas West Brom musim lalu itu menyebut: “This is life or death.” Sama seperti Daniel Sturridge, ujung tombak muda asal Liverpool: “Do or die!".
Intinya, buat Inggris dan Uruguay, sama saja: ini persoalan hidup atau mati. Maklum, laga kedua tim malam nanti benar-benar menjadi malam penghakiman. Malam yang benar-benar penuh debar. Malam penentuan. Untuk tetap “hidup”, mereka harus “mati-matian” demi sebuah harga mati: kemenangan! Tidak ada pilihan!
Sesadis itukah? Boleh jadi. Inggris meringis dalam laga pertamanya, digilas Italia 2-1. Uruguay, di luar dugaan, ditekuk Kosta Rika 3-1. Start yang buruk. Masih ingin bertahan di Brasil? Tidak mau angkat koper pagi-pagi? Kalau iya, sekali lagi: kemenangan adalah harga mati!
Oke. Lihatlah tulisan di bawah patung perunggu Shankly yang “angkuh” di luar tribun The Kop itu: “He Made the People Happy”. Tulisan ini bak penegasan: anak-anak Liverpool selalu membuat banyak orang tersenyum. Tapi siapa anak Liverpool yang bisa bikin happy itu? Siapa untuk siapa?
Malam nanti, kita tahu, ada dua anak Liverpool yang penampilannya moncer musim lalu, Steven Gerrard dan Luis Suarez, yang berada di dua kubu berbeda. Dua-duanya menjadi sorot sentral karena keduanya menjadi magnet penting untuk laga “do or die” tadi itu.
Kita mulai dari Gerrard. Wajahnya terekam lelah ketika dia bersama skuad Three Lions kembali menginjakkan kaki di Urca—markas mereka di pinggiran Rio de Janeiro—setelah tiga hari sebelumnya ditekuk oleh Italia di Arena Amazonia, Manaus, ribuan kilometer dari pangkalan militer itu.
Gerrard pun gerah ketika barisan media Inggris terus memburunya, mencecar soal skema main Roy Hodgson, termasuk soal Rooney yang tidak diturunkan di posisi terbaiknya. “Masih ada dua partai lagi, dan Uruguay adalah salah satunya,” ucap sang kapten. Dia juga memberi pengertian bahwa ini bukan soal Rooney belaka. “Ini soal (kolektivitas) tim,” katanya.
Rooney memang jadi fokus media Inggris untuk menekan Hodgson, memainkannya di tengah, di posisi terbaiknya sebagai finisher dan menggeser Raheem Sterling ke flank kiri. Rooney, yang tidak bersinar di Piala Dunia Jerman 2006 plus kartu merah versus Portugal dan tak berdaya di Piala Dunia Afrika Selatan 2010, juga ditekan.
Ini semua bagian dari cerita media Inggris yang memang dikenal moderat. Rooney, yang datang ke Brasil dengan rekor tujuh gol di babak kualifikasi, bahkan ikut “dibandingkan” dengan rekan satu timnya, Fellaini, yang sudah bikin satu gol untuk Belgia. Aha-ha-ha….
Namun sesungguhnya, ini memang malam yang berat buat Gerrard, Rooney, serta sederet anak muda Inggris lainnya: Sterling, Welbeck, Barkley, dan Wilshere. Malam yang mengharuskan mereka berkonsentrasi penuh dengan totalitas bermain yang hebat.
Maklum, di seberang sana, Suarez sudah prima 100 persen. Dia, yang absen saat Uruguay versus Kosta Rika, segera jadi momok menakutkan Inggris, selain Edinson Cavani dan Pemain Terbaik Dunia 2010, “si gaek” Diego Forlan. Suarez, yang bersama Cavani mengemas 11 dari total 13 gol Uruguay selama kualifikasi, juga tak sabar diturunkan oleh Oscar Tabarez sebagai starter.
Suarez pun, di sisi lain, tentu juga ingin bikin happy 3 juta rakyat Uruguay: beraksi, menebar teror, bikin gol, dan membawa La Celeste ke tangga kemenangan. Dia pastinya tidak ingin malam ini menjadi penghakiman. Dia ingin menjadi pahlawan, seperti dua tangannya yang menghalau bola saat injury-time vs Ghana di Afrika Selatan 2010.
Suarez ketika itu dikartu merah, Ghana dapat penalti, dan bola hasil tendangan Asamoah Gyan menaik di atas mistar gawang, lalu Uruguay memenangi laga itu lewat drama adu penalti. Suarez dipuji. Suarez dicap sebagai pahlawan.
Dia sudah mencoba melupakan itu. “Kini kami punya dua pertandingan dan butuh minimal empat poin. Kami harus mencoba dan melakukan itu. Kami punya banyak kepercayaan diri, adrenalin, dan tidak gugup," ujarnya.
Hebat sekali “konfidensi” Suarez. Sebagai anak Uruguay, dia ingin menyodorkan senyum, sama seperti Gerrard dengan penjelasan yang sama untuk Shankly: made the people happy.
Baiklah. Saya tidak begitu peduli pada apa pun hasil akhir duel Uruguay vs Inggris ini ketika kedua tim lebih menjual konsep “do or die”. Tapi saya lebih peduli pada ancaman ketika keindahan sepak bola harus “dirusak” oleh malam penghakiman ini.
Salam sepak bola!
HARDIMEN KOTO
Berita lain:
Komnas HAM Akan Jemput Paksa Kivlan Zen, TNI Cuek
Pesan-Pesan Pro-Prabowo Menyusup di Facebook Tempo
Hindari Cuci Daging Ayam Sebelum Dimasak
Akan Ditutup, Pasukan Bintang Merah Kepung Dolly
Berjemur Telanjang, Wanita Ini Sebabkan Kemacetan
PKS: Mungkin Saja Suara Kami Bocor ke Jokowi