TEMPO.CO, Jakarta - Setiap kali Piala Dunia bergulir, selalu muncul sosok yang mengaku bisa meramal hasil-hasil pertandingan dengan tokcer. Kita masih ingat, pada Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, seekor gurita bernama Paul menjadi fenomena global setelah sukses meramal pemenang pesta sepak bola sejagat itu.
Dari akuariumnya di Oberhausen, Jerman, binatang laut bertentakel delapan ini memprediksi dengan tepat semua hasil pertandingan tim Panzer. Dia tahu Jerman akan kalah di semifinal dan Spanyol bakal menjadi juara dunia dengan mengalahkan Belanda di final.
Gara-gara ramalannya yang selalu jitu, setiap kali tim Jerman berlaga, barisan pendukung Bastian Schweinsteiger pasti menanti berita soal ramalan Paul dengan harap-harap cemas. Menggelikan sekaligus memprihatinkan melihat jutaan manusia menggantungkan asa mereka pada seekor hewan tak bertulang belakang.
Dalam Piala Dunia kali ini, sejumlah mamalia, reptilia, dan cephalopoda berusaha mengikuti jejak Paul. Di Berlin, seekor gurita lain bernama Regina disebut-sebut mampu meramal hasil pertandingan di Brasil. Sedangkan di Rio de Janeiro, seekor kura-kura bernama “Kepala Besar” alias Big Head juga mencoba peruntungan serupa.
Di Cina, ada panda bernama Ying Mei. Di Swiss, ada babi peramal bernama Madame Shiva. Di Jerman, seekor gajah bernama Nelly juga diklaim punya kemampuan sebagai cenayang. Di Timur Tengah, ada unta peramal bernama Shaheen. Di Australia, ada seekor kanguru bernama Flopsy—yang belakangan bersalin nama jadi Predicataroo karena konon jago menebak skor akhir pertandingan bola.
Dengan meyakini sederet ramalan hewan-hewan itu, para penggila bola seolah percaya hasil pertandingan 2 x 45 menit di lapangan hijau itu bisa ditebak bahkan sebelum kick-off. Tak sedikit orang yang berani mempertaruhkan jutaan rupiah demi menguji ketepatan ramalan mereka. Kesuksesan bandar judi bola yang selalu marak setiap Piala Dunia sedikit-banyak ditopang oleh keyakinan irasional para penggemar bola ini.
Pertanyaannya, benarkah hasil pertandingan bola bisa diramal? Bukankah ada yang bilang bola itu bundar dan apa pun bisa terjadi sebelum peluit terakhir dibunyikan?
Egil Olsen, Manajer Norwegia dalam Piala Dunia 1998 di Prancis, mungkin bisa jadi contoh orang yang paling meyakini hasil pertandingan bola sebenarnya bisa diatur. Dia dijuluki “Sang Profesor” karena pendekatannya pada strategi permainan sepak bola yang sistematis dan menekankan pada statistik.
Resep kemenangannya sederhana, alirkan bola ke depan gawang lawan secepatnya pada serangan balik, dan tempatkan pemain dengan tinggi badan di atas rata-rata untuk menyambut umpan tarik di garis pertahanan musuh. Berdasarkan data yang diolah dari ribuan pertandingan, kata Olsen, metode ini hampir pasti menghasilkan gol.
Di bawah kendali Olsen, selama 1990-1998, Norwegia menjelma menjadi tim yang menakutkan. Di Prancis, mereka melaju ke babak kedua setelah mengalahkan juara bertahan Brasil. Meski kemudian kalah tipis dari Italia, Olsen membuktikan bahwa bola tidaklah selamanya bundar.
Ada bukti lain lagi, sepanjang 19 kali penyelenggaraan Piala Dunia, hanya ada delapan tim yang pernah menjadi juara. Ini fakta sejarah. Puluhan tim lain, datang dan pergi, tanpa pernah menyentuh trofi Piala Dunia yang termasyhur itu. Dengan kata lain, para peramal itu bisa jadi benar.
Lalu, bagaimana menjelaskan penampilan mencengangkan Korea Selatan yang menembus semifinal Piala Dunia 2002? Atau Kamerun yang lolos sampai perempat final Piala Dunia 1990? Bagaimana dengan Kosta Rika yang pekan lalu mengalahkan Italia dan Uruguay sekaligus?
Penulis dan filsuf, Nassim Nicholas Thaleb, menyebutkan bahwa insiden-insiden tak wajar itu sebagai “black swan” alias angsa hitam. Kemunculannya tak bisa diprediksi sejarah karena begitu jarang dan tak terduga. Tak ada yang bisa meramalkan angsa hitam, tak juga Paul si gurita.
WAHYU DHYATMIKA l WARTAWAN TEMPO