TEMPO.CO - Di balik keindahan bukit-bukit di Rio de Janeiro, Brasil, berdirilah sejumlah kawasan kumuh. Julukannya favela. Dari kejauhan, deretan rumah itu terlihat padat dan berundak, tapi sekaligus apik. Sebagian atap dan temboknya berwarna-warni. Bagi setiap orang yang memandangnya, sangat mungkin tebersit tanya: bagaimana kehidupan di sana?
Luciano Pinto, penerjemah saya selama di Rio, Oktober tahun lalu, berkali-kali menolak mengantarkan saya masuk ke dalam favela. Singgah di dekatnya saja dia ogah. "Ada mahasiswa asal Jerman masuk ke favela dan mengambil gambar di sana. Saat dia keluar, seseorang menembak kakinya," kata Luciano, yang kerap tampil necis. Ciut juga nyali saya mendengar cerita kawan yang satu itu.
Memang, di belahan dunia mana pun, kawasan kumuh tak putus dari kriminalitas. Di sanalah bermukim kaum gali dan gentho. Gambaran soal favela nyata terlihat dalam City of God, film yang bercerita seputar narkoba, senjata, dan persaingan antargeng. Tembak-menembak merupakan hal biasa di sini. Dalam dokumenter yang pernah saya saksikan, polisi pun terlihat kesulitan membersihkan kawasan tersebut.
Seorang bocah asal Rocinha--favela terbesar di Rio de Janeiro--bercerita, persaingan antarpengedar bahkan muncul dalam sepak bola. Dua geng terbesar di sana berupaya merekrut bocah-bocah pemain sepak bola terbaik untuk masuk "klub" mereka. Digaji pula. "Persaingannya mengerikan," kata bocah itu, seperti diterjemahkan oleh Luciano Pinto. Tentu saja pembicaraan kami dilakukan di luar favela.
Toh, favela juga punya prestasi luar biasa. Dari kawasan inilah sebagian besar pemain sepak bola Brasil muncul. Sebagian malah menjadi motor Brasil merengkuh lima trofi Piala Dunia. Zico, Romario, dan Ronaldo merupakan contoh pemain yang berasal dari kawasan kumuh. Dan memang, banyak penghuni favela mencoba keluar dari kemiskinan absolut dengan bermain sepak bola. Mimpi mereka sama: direkrut klub lokal, bahkan hijrah ke Eropa, dan menorehkan tanda tangan di kontrak super-mahal. Mimpi yang sah-sah saja.
Begini salah satu kehebatan pemerintah Rio. Mereka menyediakan lapangan berumput sintetis di seberang Rocinha, lengkap dengan seragam dan sepatu. Setiap hari, dibagi berdasarkan usia, bocah dan remaja Rocinha berlatih di sana. Pertandingan persahabatan dengan klub dari favela lain ataupun klub-klub sepak bola premium kerap digelar.
Kadang-kadang pemain dari klub lokal, seperti Flamengo dan Botafogo, mampir untuk memberikan pelatihan. Bahkan Koninklijke Nederlandse Voetbalbond (KNVB)--PSSI-nya Belanda--juga membantu memberikan latihan dan perlengkapan. Maka jadilah mereka yang ingin merajut mimpi kaya dari sepak bola berlatih di lapangan tersebut. Syarat yang diajukan Pemerintah Kota Rio cuma satu. Mereka yang berlatih di lapangan itu wajib bersekolah.
Sepertinya Pemerintah Kota Rio sadar benar bahwa menyingkirkan narkoba dari kota tersebut adalah satu ilusi. Razia setiap hari pun merupakan solusi naif. Andai patung Christo Redemptor runtuh sekalipun, Rio tak akan benar-benar bersih dari narkoba. Ketimbang anak-anak itu masuk jebakan maut pengedar narkoba, lebih baik mereka dibuat berkeringat. Sehat, dan tak bodoh. Jika nasib memang berpihak, mereka bakal super-duper kaya.
Bukan solusi cepat, memang, tapi cukup efektif. Setidaknya banyak anak muda di favela memilih berlari di lapangan ketimbang berlari dikejar polisi.
Stefanus Teguh Edi Pramono (Wartawan Tempo)