TEMPO.CO - Drama di Maracana, Rio de Janeiro, Senin pagi tadi sudah menghasilkan kampiun: Argentina atau Jerman. Anda sudah tahu hasilnya. Brasil 2014 pun meninggalkan banyak cerita: Spanyol tersingkir pagi-pagi, tiki-taka mati, Suarez menggigit lagi, Cile-Kolombia-Kosta Rika tampil dengan energi tinggi, dan gelar heksa tuan rumah masih mimpi.
Dan yang ini pasti sulit dilupakan: Jerman membantai Brasil di Belo Horizonte, 7-1! Skor terbesar dari semua 64 laga dan, ironisnya, muncul di semifinal. Mimpi buruk Selecao berlanjut dalam play-off, diblender Belanda 3-0 dan menjadikan Der Oranje, seperti Kosta Rika, pulang dengan kepala tegak: tak terkalahkan dalam tujuh laga. Belanda juara (3) tanpa mahkota!
Brasil 2014 selesai, tapi degup sepak bola tak berhenti dan akan terus mengguncang dada siapa saja. Bahkan jauh ke depan, menatap Rusia 2018, ketika Piala Dunia edisi ke-21 kembali naik panggung pada 8 Juni-8 Juli 2018 di 11 kota yang tersebar di Rusia yang sangat luas.
Dan semua energi sudah dimobilisasi menatap Rusia 2018, jauh sebelum Vladimir Putin hadir di Maracana, menonton final sekaligus menjelaskan mereka tidak seperti Russian roulette, berjudi hidup-mati untuk tuan rumah.
Tapi, dan ini muncul dalam setiap Piala Dunia, masalah selalu muncul. Dengan bentangan jarak mencapai 2.500 km, dari barat ke timur, dari Moskow hingga Volgograd, dari Saint Petersburg hingga Samara, Rusia memang berjudi dengan waktu untuk berbenah diri. Baru dua stadion yang siap pakai, di Sochi dan Kazan. Maklum, dua kota ini baru saja menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin dan Universiade. Sisanya, 10 stadion lagi, dibangun baru.
Kepala Vitaly Mutko, CEO Rusia 2108, juga puyeng oleh serangan ancaman dan gerakan protes anti-Rusia. Itu datang dari dua pihak: United with Ukraine, yang menyerukan aksi boikot global terhadap sejumlah sponsor; dan Berkshire Hathaway, induk perusahaan ahli keuangan Amerika Serikat, Warren Buffet. Picu dasarnya tentu soal Crimea, yang semena-mena dicaplok Rusia.
Tapi biarlah itu urusan FIFA. Toh, Rusia sebagai kontestan sudah lolos ke putaran final jauh-jauh hari, melipur kegagalan skuad Fabio Capello lolos dari fase grup di Brasil 2014 tanpa satu pun kemenangan: 1-1 vs Korea Selatan, 0-1 vs Belgia, dan 1-1 vs Aljazair.
Ya, baru Rusia ke Rusia 2018. Selebihnya, termasuk sang kampiun di Brasil 2014, harus merangkak lagi dari kualifikasi. Siapa di grup apa, skenarionya akan terbaca seusai undian di Saint Petersburg, 25 Juli 2015. Termasuk perjalanan Brasil menuju Rusia, tempat Neymar punya obsesi kuat menebus kegagalan memalukan di kandang sendiri.
Dari St Petersburg pula akan ketahuan prosesi perjalanan timnas Indonesia menuju putaran final Piala Dunia, pesta empat tahunan yang selalu mengguncang negeri sepak bola ini meski skuad Merah Putih belum jua tiba di sana.
Satu harapan mencuat dari tim bentukan Indra Sjafri dengan skuad timnas U-19 yang dibangunnya dari nol, berdarah-darah dengan blusukan dari Aceh hingga Maluku Utara sana. Tim yang Oktober nanti berlaga dalam putaran final Piala Asia di Myanmar itu, jika terus dipertahankan, akan mencapai usia emasnya di Rusia 2018 nanti.
Itu bukan harapan yang muluk, meski juga tak mudah. Tapi Evan Dimas dkk menjanjikan sepanjang mereka terus dikawal, dipoles, dan terus disodori jam terbang internasional. Syukur-syukur lolos ke Selandia Baru, tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun depan.
Rusia sudah bersiap dengan sederet anak muda macam Alan Dzagoev (CSKA Moskow), Denis Cheryshev (Sevilla), juga Amir Natkho, anak muda 18 tahun yang baru saja dibeli Barcelona. Kita? Kita pun ingin ada di Rusia 2018, masuk dalam pusaran Piala Dunia sesungguhnya. Ayo!
HARDIMEN KOTO (Pemerhati Sepak Bola)