TEMPO Interaktif, Johannesburg - Taksi atau mobil sewaan menjadi andalan wartawan peliput Piala Dunia 2010. Mengandalkan angkutan umum untuk melakukan peliputan di Johannesburg nyaris mustahil karena terbatas dan misteriusnya trayek mereka. Sedangkan panitia Piala Dunia hanya menyediakan bus dari hotel resmi media ke stadion.
Untuk menggunakan taksi di kota ini jelas butuh seni tersendiri, paling tidak dalam hal tawar-menawar. Hampir tak pernah ditemukan taksi yang memakai argometer. Apalagi di kota ini pun beredar sangat banyak taksi gelap alias mobil pribadi yang dijadikan sebagai taksi.
"Karena kami butuh makan. Untuk mengurus izin taksi resmi sangat mahal, padahal keluarga kami butuh biaya," kata Dumy, seorang sopir taksi gelap. Ia mengaku jarang menemukan kesulitan dari polisi karena profesinya yang tak resmi itu.
Pria 37 tahun itu menggunakan mobil milik pamannya. Tapi ia juga tengah mengumpulkan uang. "Kalau Anda kembali lagi tahun depan, pasti saya sudah mengantar Anda dengan taksi milik sendiri," katanya seraya tersenyum.
Selain soal harga yang harus ditawar, kita harus rajin-rajin mencatat nama dan nomor pengemudi. Johannesburg tidaklah seperti Jakarta, yang memungkinkan kita mencegat taksi di setiap bahu jalan hampir kapan saja.
Taksi-taksi di kota ini lebih suka mangkal di tempat tertentu dan menunggu panggilan. "Karena peluangnya kecil bila mengandalkan penumpang yang mencegat. Lebih banyak orang sini yang memakai mobil pribadi," kata Dumy.
Tentu saja dengan kondisi itu kita harus punya banyak kontak sopir taksi dari berbagai pangkalan dan pandai-pandai memilih taksi yang akan dihubungi. Bila kita memanggil dari tempat yang terlalu jauh dari pangkalan, sopir biasanya mengenakan tarif dua kali lipat saat memenuhi panggilan kita.
Nurdin Saleh (Johannesburg)