TEMPO Interaktif, Kasim Alaudin tampak antusias memperagakan jurus demi jurus pencak silat di depan kawan-kawannya dan pelatih yang tengah mengujinya di lapangan Darol Uloom Zakariya, Johannesburg, Ahad lalu. Acara kenaikan tingkat itu juga disaksikan oleh Duta Besar Indonesia untuk Afrika Selatan, Syahril Sabaruddin.
Gerakan remaja berusia 14 tahun itu kadang masih kaku. "Saya baru belajar empat bulan dan sudah belajar banyak," katanya. Kasim adalah warga Afrika Selatan berdarah Arab dan India. Ia pernah berlatih karate di Pesantren Darol Uloom tempatnya belajar itu. Tapi ia kini berpaling ke silat. "Ini adalah bela diri yang menarik. Melatih saya untuk menjadi fleksibel. Tak seperti bela diri lain yang mengandalkan otot," katanya.
Alaudin adalah satu dari 400 murid pencak silat yang ada di Johannesburg. Mereka antara lain sempat unjuk kebolehan dalam parade menjelang pembukaan Piala Dunia di Pretoria, 10 Juni lalu.
Mereka menjadi murid perguruan Permai Martial Arts milik Sariat Arifia, pengusaha Indonesia di Afrika Selatan. Permai adalah singkatan dari Perhimpunan Masyarakat Indonesia dan perguruan pencak silat ini menginduk pada Pencak Silat Al-Azhar Indonesia.
Sariat, 35 tahun, baru tinggal di Johannesburg dua tahun. Ia mendirikan perguruan Permai pada Januari lalu, setelah melihat respons masyarakat setempat atas promosi dan demo yang dilakukan pada akhir tahun lalu.
Pria kelahiran Jakarta itu pun merogoh kocek cukup dalam untuk melakukan itu, termasuk mendatangkan dua pelatih dari Indonesia, Prihardjono S. Sastromartono, 47 tahun, serta Syahrowi, 29 tahun.
Keempat ratus anggota yang sudah bisa direkrut Permai tersebar di tiga lokasi latihan. Selain di Pesantren Darol Uloom, ada di Bosmont Moslem School dan Al-Azhar School. Di semua lokasi itu latihan digelar sekali sepekan.
Semua murid itu adalah warga muslim. Khusus untuk yang di Pesantren Darol Uloom, muridnya berasal dari negara sekitar (12 negara). "Kami masih berjuang menembus warga kulit hitam dan putih Afrika Selatan," kata Syahroni.
Ketiga lokasi latihan itu per bulannya membutuhkan dana Rp 35 juta. Biaya dari iuran murid hanya menutup 20 persennya. Sisanya disokong oleh biaya dari kocek Sariat. "Ini seharusnya jadi pekerjaan negara, tapi kami melakukannya," katanya. "Tapi saya merasa pengorbanan itu terbalas saat melihat murid-murid belajar dengan semangat dan bahagia."
Ia menargetkan perguruan silatnya baru bisa menghidupi diri sendiri dua tahun lagi. Ia juga berharap sudah bisa memiliki 1.000 murid dalam setahun ini dan bisa mencetak pelatih lokal hasil didikan perguruan sendiri dalam dua tahun.
Mengembangkan silat dari nol seperti di Afrika selatan jelas tak mudah. Sariat menyatakan, silat sebelumnya tak dikenal di negara ini sehingga program pengenalan harus dilakukan. Dan program seperti itu pasti tak murah. Pada 2009 misalnya, untuk menggelar promosi selama tiga bulan--dengan mendatangkan pesilat dari Indonesia--dibutuhkan dana tak kurang dari Rp 250 juta. Ia saat itu mengucurkan Rp 100 juta dan sisanya ditanggung kedutaan Indonesia.
Prihardjono juga mengungkapkan, salah satu tantangan terbesar mengembangkan silat di Johannesburg adalah sulitnya transportasi, baik untuk pelatih maupun murid. "Sering kali latihan tak maksimal karena problem ini," katanya. "Padahal saya melihat animo mereka untuk belajar sangat luar biasa."
Kak Jojo--begitu murid-muridnya memanggilnya--datang ke Johannesburg dengan meninggalkan anak-istri. Ia sudah berjanji untuk bertahan hingga dua tahun. "Ini tantangan bagi saya," katanya.
Syahrowi, pelatih lainnya, juga sama. Ia akan menikah Januari depan, tapi bertekad bertahan dua tahun di kota ini. "Saya ingin ikut mengembangkan budaya bangsa di negeri orang," katanya. |Nurdin Saleh (Johannesburg)
Rencana Besar di Tengah Keterbatasan
Enam bulan sejak Permai Martial Art berdiri, perkembangan pencak silat cukup pesat di Johannesburg. Cabang olahraga ini sudah memiliki wadah nasional, Asosiasi Pencak Silat Afrika Selatan, yang diketuai Sariat.
Pada Februari lalu, cabang bela diri ini juga sudah diakui Asosiasi Afrika Selatan dan Komite Olahraga Nasional setempat. Permai tentu saja sudah jadi anggota organisasi pencak silat internasional (Persilat).
Menurut Sariat, asosiasi yang dipimpinnya kini sudah memiliki program besar. Ia berharap bisa mengembangkan silat di delapan negara Afrika Selatan lainnya, yakni Swaziland, Namibia, Angola, Zimbabwe, Mozambik, Tanzania, Kenya, dan Boswana. "Kami akan berusaha melakukan promosi ke negara-negara itu mulai tahun depan," katanya.
Cara lain adalah dengan merekrut para pelajar dari negara itu, yang kini tengah menuntut ilmu di Johannesburg. "Kami akan memberikan beasiswa dan setelah pulang ke negaranya mereka diharapkan jadi penyebar silat," katanya.
Ia berharap pada akhir 2014 sudah bisa menyelenggarakan kejuaraan pencak silat secara massal, yang nantinya digilir di beberapa negara Afrika lain. "Kami punya rencana besar dan kami butuh dukungan," katanya. | Nurdin Saleh