TEMPO Interaktif, Johannesburg -Ahad lalu adalah hari kelima saya di Johannesburg. Baru sesaat memang, masih ada 27 hari lagi untuk bergulat dengan gebyar Piala Dunia. Tapi penat juga mulai terasa. Rasanya butuh sesuatu untuk menyegarkan diri.
Sungguh kebetulan. Sore itu, Sariat Arifia, Ketua Asosiasi Pencak Silat Afrika Selatan, yang mengantar kami--saya dan beberapa wartawan Indonesia--pulang dari liputan, tiba-tiba mengeluarkan bungkusan plastik berisi daging dari mobilnya. "Mari kita braai dulu," katanya.
Braai adalah istilah lokal untuk barbeque. Lalu kami pun memanggil Gasant van Miekerk, pemilik penginapan yang kami tempati. Ternyata ia memiliki alat panggangan braai .
Dari Gasant kami tahu bahwa braai merupakan kebiasaan yang sangat umum di kalangan masyarakat Afrika Selatan. Kebanyakan rumah punya panggangan braai .
"Bila keluarga sedang berkumpul, kami biasanya menggelar braai ," kata Gasant. Dan bagi kebanyakan warga kulit hitam, braai biasanya disantap sambil ditemani minuman beralkohol.
Tapi sore itu tak ada minuman keras. Toh, acara tetap meriah, apalagi setelah anggota keluarga Gasant datang bergabung. Lalu ada pula Migdad Ali, Ketua Persatuan Pelajar Afrika Selatan. Menyusul kemudian tiba Mustafa dan Kamal, dua warga muslim dari sekitar penginapan kami di Bosmont. Keduanya membawa roti dan jus.
Sore yang dingin menusuk tulang itu berubah jadi hangat di depan panggangan braai yang membara. Daging panggang yang lezat, juga kehangatan sambutan warga di negeri yang dikenal memiliki kriminalitas tinggi itu, sungguh jadi paduan yang sempurna.
Sesaat saya bisa melupakan kepenatan tubuh. Dan rasanya saya pun lebih siap untuk meleburkan kembali dalam sederet pertandingan Piala Dunia lainnya esok hari.
Nurdin Saleh (Johannesburg)