Pesantren khusus lelaki itu terletak di Zakariyya Park, Lenasia. Daerah itu dikenal sebagai salah satu lokasi permukiman muslim keturunan India di Johannesburg. Pesantren seluas hampir 5 hektare itu dikelilingi pagar tembok tinggi dengan pintu gerbang berpenjaga.
Tempat ini adalah salah satu dari empat madrasah (pesantren) besar yang ada di Johannesburg, yang didirikan pada 1925 oleh Maulana Abdul Hamid, ulama Afrika Selatan keturunan India. Sebagian besar dari 46 pengajar di tempat ini pun khusus didatangkan dari India atau Pakistan. Karena itu, bahasa Urdu menjadi bahasa pengantar saat mengajar, sedangkan bahasa Inggris jadi bahasa pergaulan.
Lalu mengapa para santri dari Indonesia itu tertarik belajar di tempat ini? "Di sini fasilitasnya lengkap. Soal keilmuannya juga sudah terkenal. Lagi pula kita bisa lebih mendalami keempat mazhab yang semuanya diajarkan di sini," kata Muhammad Hidayat, santri berusia 32 tahun asal Ciamis. Soal fasilitas memang terlihat mengesankan. Bangunan di pesantren ini terlihat megah. Hampir semua bangunan memakai bata merah yang dibiarkan tanpa plester.
Tempat ini memiliki 15 kelas dan 16 unit asrama yang setiap unitnya terdiri atas enam kamar. Masing-masing kamar berukuran sekitar 8 x 8 meter dan dihuni enam santri. Di setiap kamar tersedia satu kulkas.
Untuk urusan mencuci, para santri tak perlu repot karena pakaian mereka akan dicucikan. Dan, untuk menikmati semua fasilitas itu, sebagian santri akan dipungut biaya 10 ribu rand (Rp 12 juta) setahun.
Tapi para santri dari Indonesia umumnya tak perlu membayar karena mendapat beasiswa. Saifullah, santri berusia 22 tahun asal Garut, bahkan mengaku selalu mendapat uang saku 400 rand (Rp 480 ribu) setiap bulan.
Alumnus Pesantren Manonjaya itu datang dengan beasiswa dari Yayasan Al-Imdad Afrika Selatan. Ia terpilih dengan menyisihkan calon yang diajukan berbagai pesantren karena hafal Al-Quran dan fasih berbahasa Arab.
Datang dua tahun lalu, ia sempat menjalani matrikulasi untuk belajar bahasa Urdu selama setahun. Kini ia menghuni kelas V di lembaga itu dengan mengambil spesialisasi bidang hadis. Pesantren ini memang menggunakan sistem kelas berbeda dari sekolah umum. Darul Uloom membuat tujuh jenjang kelas (tujuh tahun) sebelum santri lulus.
Saifullah menjelaskan, tiap hari santri biasanya belajar sehari penuh dan menekuni delapan pelajaran berbeda. Selain materi intim seperti hadis dan tafsir, diajarkan bahasa dan sastra Arab. Sedangkan pelajaran astronomi jadi bidang ekstrakurikuler. Para santri juga bisa mengikuti berbagai kegiatan olahraga, seperti basket, sepak bola, kriket, dan pencak silat.
Hari Minggu adalah saatnya libur bagi para santri. Saifullah dan kawan-kawan kadang menggunakannya untuk jalan-jakan ke pusat kota. Karena angkutan sulit, mereka biasanya harus mencari tumpangan dari mobil yang lewat. "Tapi di sini harus hati-hati. Beberapa santri pernah jadi korban perampokan oleh pengemudi," katanya.
Awalnya ia sempat kesulitan menyesuaikan diri dengan udara ekstrem di tempat ini dan membiasakan diri makan dengan roti. Saifullah juga kerap rindu kampung halaman. "Tapi saya kini sudah terbiasa. Saya juga senang karena mengenal banyak saudara dari berbagai negara," katanya.
Ke-25 santri asal Indonesia itu hanya bagian dari 700 santri yang ada di sini. Mereka berasal dari 52 negara. Dari Asia Tenggara, jumlahnya cukup banyak. Selain dari Indonesia, dari Malaysia ada 50 orang, Thailand 20 orang, dan Vietnam 4 orang. Sebagian besar (500 orang) santri mondok di asrama dan sebagian pulang ke rumah mereka yang terletak di sekitar pesantren.
Tapi, khusus selama Piala Dunia, pemimpin pesantren telah menekankan agar semua santri berdiam di asrama. Artinya, mereka tak mungkin menyaksikan pertandingan sepak bola karena telepon seluler dan televisi adalah barang terlarang di dalam pesantren. "Beliau mengatakan bahwa untuk ke luar asrama di saat-saat seperti ini hanya akan lebih banyak mendatangkan fitnah bagi kami," kata Saifullah. l Nurdin Saleh (Johannesburg)