Suasana Taman Puring saya rasakan di Bruma World Market. Warga sekitar menyebut tempat ini sebagai flea market. Tapi bukan hanya barang bekas yang dijual di sana. Berbagai barang baru juga dijajakan.
Saya sempat kaget saat mau masuk. Tiap pengunjung diharuskan membayar 4,5 rand (Rp 5.000). Di dalam pasar itu ternyata sepi. Hanya 1-2 pengunjung yang terlihat. Pasar itu malah ramai oleh para pedagang yang saling berbincang atau bercanda.
Sejumlah barang yang berkaitan dengan Piala Dunia ditawarkan di sana. Ada kaus tim peserta, vuvuzela, bendera, syal, dan helm makarapa khas suporter Afrika Selatan. Selain itu, dijajakan sepatu, tas, pakaian, dan alat kerajinan. Di sana juga ada deretan kios di kantin yang menjual makanan, termasuk kebab.
Tapi saat mencoba bertanya, saya kaget mendengar harga yang ditawarkan. Kaus tipis tim Argentina, jelas bukan asli, ditawarkan dengan harga 200 rand (Rp 240 ribu). Vuvuzela dibanderol 80 rand (Rp 96 ribu), lebih mahal 20 rand dari vuvuzela yang dijual stadion.
Di salah satu pojok terlihat kotak-kotak penyimpanan dari kayu dengan ukiran yang kerap saya lihat di Indonesia. Tertulis daftar harga di atasnya, mulai 250 rand hingga 700 rand. "Barang dari Indonesia?" tanya saya. Pedagang berkulit hitam itu tampak termangu sebentar. Tapi kemudian ia mengangguk. "Ya, ya, Indonesia," katanya. Ketika saya selidiki lebih jauh, ia kebingungan menjelaskan Indonesia bagian mana. Saya akhirnya memilih meninggalkannya.
Keluar dari pasar itu, saya beranjak ke pusat perbelanjaan lain di seberangnya. Yang ini lebih menarik. Aksara Cina tampak di atas plangnya, mendampingi tulisan Bruma Oriental City.
Ketika masuk, saya langsung teringat suasana Glodok di Jakarta. Orang-orang Cina sibuk melayani pembeli. Barang-barang bertulisan huruf Mandarin bertebaran di setiap kios. Di pusat perbelanjaan ini dijual berbagai barang: mulai kaus kaki, celana dalam, pakaian, benang, alat elektronik, VCD, mebel, hingga barang-barang kelontong. Pembeli bisa melakukan tawar-menawar di tempat itu.
Peng Li, penjual jam yang juga menjajakan bendera peserta Piala Dunia, mengatakan pusat perbelanjaan itu didirikan tujuh tahun lalu. Pedagangnya kebanyakan pendatang atau warga keturunan Cina. "Tapi ada juga dari India dan orang kulit hitam," katanya.
Ia, yang sudah 16 tahun tinggal di Afrika Selatan, mengatakan Piala Dunia ini tak terlalu banyak mengangkat usahanya. "Sepuluh tahun lalu keadaan jauh lebih bagus," katanya mengeluh.
Saya sempat melihat toko mebel dan karpet yang dijaga seorang berkulit hitam. Mebel-mebel itu mirip barang yang ada di Indonesia. Tapi saat saya tanya, barang itu produksi Pakistan.
Salah seorang penjual berdarah India, Ibrahim, memilih melengkapi toko kelontongnya dengan pernak-pernik Piala Dunia. Dan jurusnya itu diakui telah mengangkat penjualan. "Ada peningkatan hingga 50 persen," katanya. Ia mendatangkan semua barangnya dari distributor lokal. "Saya ingin ke Cina mencari barang bagus berharga murah," katanya.
Pengalaman dari dua tempat itu jelas menegaskan, Afrika Selatan bukanlah surga belanja bagi pendatang asal Indonesia. Harga-harga di sana terasa mencekik bila dibandingkan dengan harga barang sejenis di Indonesia. Untuk barang yang sederhana, misalnya tempelan kulkas, di Indonesia barang itu bisa didapat dengan harga belasan ribu, tapi di sana ditawarkan dengan harga 50 rand (Rp 60 ribu).
Tapi Bruma memang menjadi surga bagi warga Indonesia yang sudah menetap di sini. Tempat ini dikenal sebagai perkampungan Asia. Selain dua pusat perbelanjaan itu, di daerah ini banyak terdapat minimarket Cina dan Thailand.
Di salah satu pojok jalan juga tampak sejumlah orang Cina menjual sayur dan buah-buahan di trotoar, tak jauh dari toko yang menjual ikan segar. Di pojok jalan itu kita bisa dengan mudah mencari barang-barang yang dikenal di Indonesia: cabai rawit, ikan teri, tahu, terong, dan sayuran lain. Pedagang di sana pun kebanyakan orang Cina, meski saya temukan juga orang Malaysia.
Saat saya coba membeli, sawi dua kilogram ternyata harganya 25 rand (Rp 30 ribu). Satu kilogram ikan teri medan dibanderol 100 rand (Rp 120 ribu). Mahal. Tapi untuk anggur, harganya hanya 10 rand (Rp 12 ribu) satu kilogram. Maklum, negara ini memang salah satu produsen anggur terkenal di dunia.
NURDIN SALEH