Dengan gaya main yang lebih pragmatis--yang penting menang--pelatih Belanda sekarang, Bert van Marwijk, menunjukkan bahwa ia berhasil membawa Robin van Persie dan kawan-kawan menang dengan permainan yang kurang mengesankan atau malah bisa disebut membosankan. Dalam istilah penyerang Belanda, Dirk Kuyt, Belanda harus memakai segala cara untuk bisa memenangi pertandingan yang "gila" atau berat. Dengan prinsip seperti itu, Belanda menjadi tim pertama yang maju ke 16 besar di Piala Dunia 2010.
Setelah melawan Jepang, Sabtu lalu, Van Marwijk mengatakan bahwa hasil pertandingan membenarkan gaya pragmatis yang mereka pilih. Tim Oranye mendominasi penguasaan bola, tapi tak banyak yang bisa menciptakan kreasi untuk menembus pertahanan Jepang, yang bermain cepat dan punya pertahanan sangat agresif.
"Mengapa kami harus berfokus ke sepak bola indah daripada memenangi pertandingan?" kata Van Marwijk. "Saya tegaskan kepada Anda, kami sangat ingin menang dan jika kami bisa melakukannya dengan gaya itu (main indah), akan bagus sekali. Tapi Anda juga harus memenangi pertandingan yang gila," ia melanjutkan.
Sebuah harapan yang sangat tinggi buat Belanda muncul menjelang putaran final Piala Dunia ini berlangsung. Belanda mengalahkan sesama peserta putaran final Piala Dunia 2010, Ghana, 4-1, dan menghancurkan Hungaria 6-1. Dalam dua partai pemanasan itu, Belanda mendominasi pertandingan dengan permainan cepat dan umpan-umpan yang terus mengalir. "Permainan kami tidak menarik melawan Ghana dan Hungaria," kata Van Marwijk. "Tapi di sini perjuangan untuk menang lebih berat," ujar mertua dari gelandang bertahan Belanda, Mark van Bommel, itu melanjutkan.
Kuyt setuju dengan pendapat bosnya. "Ini satu turnamen yang diikuti 32 tim terbaik di dunia. Itu tidak mudah," kata penyerang 29 tahun itu. "Negara-negara itu datang ke sini dengan tidak ada beban untuk takut kalah dan mereka ingin menampilkan permainan terbaik dalam pertandingan terbesar sepanjang karier mereka," pemain Liverpool itu menimpali.
Belanda para 1970-an memainkan bola dengan pergerakan yang terus mengalir dalam taktik total football yang mempesona dunia. Tapi dengan cara itu, Belanda justru gagal di final Piala Dunia 1974 dan 1978, kalah oleh tuan rumah Jerman dan Argentina.
Satu-satunya gelar besar yang Belanda raih adalah trofi Piala Eropa 1988 dengan bintang-bintangnya, yakni Marco van Basten, Ruud Gullit, Frank Rijkaard, serta dukungan bek tangguh macam Ronald Koeman dan Jan Wouters.
Van Marwijk sekarang memang mengadopsi trio ala Basten, Gullit, dan Rijkaard dalam diri Wesley Sneijder, Rafael van der Vaart, dan Robin van Persie. Tapi ia juga mendapatkan dukungan dari pemain seperti Kuyt dan menantunya, Van Bommel, yang menonjol dengan perjuangan keras mereka di lapangan. Dua pemain "biasa-biasa" itu sejauh ini sudah menolong tim Oranye menang dua kali dan Kuyt mencetak gol kedua saat melawan Denmark.
Bukan berarti Van Marwijk, 58 tahun, tidak menginginkan timnya bermain atraktif. Tapi ia menegaskan bahwa Belanda melakukannya dengan dasar permainan yang tak bisa ditawar-tawar: mendominasi penguasaan bola (metode possession football) dan kemudian sabar menunggu sampai akhirnya menemukan satu celah di lini pertahanan lawan. "Banyak orang ingin sepak bola cantik dan menang 5-0 di babak pertama. Tapi itu tidak selalu terjadi di Piala Dunia. Terkadang Anda harus menunggu untuk sebuah gol," kata mantan gelandang Fortuna Sittard, yang hanya sekali memperkuat Belanda pada 1975 dan pelatih Feyenoord serta Borussia Dortmund, itu. AP | REUTERS | PRASETYO