Saya sudah mendapat gambaran ideal sebelum datang. Sebuah artikel di internet melukiskan suasana di sana lewat tuturan Madonna Seruto, guide yang sudah lima tahun bekerja di tempat itu. “Orang datang ke sini, beberapa menangis, beberapa berdoa, sebagian lain melepas topinya sebelum masuk. Tapi semua menikmati dan membawa sesuatu saat pergi.”
Tapi tiba Sabtu sore, kondisinya jauh dari bayangan ideal itu. Kemacetan langsung menyambut di mulut jalan menuju rumah itu. Suasana jalan di seputar rumah bersejarah itu pun agak semerawut. Pedagang kaki lima bertebaran di trotoar jalan. Pengemis dan pengamen juga berkeliaran mencari recehan.
Pengunjung melimpah sehingga banyak peminat harus menunggu cukup lama sebelum bisa masuk. Jonathan Makhuvele, guide yang kemudian saya temui, mengatakan selama Piala Dunia minat pengunjung memang melonjak llebih dari dua kali lipat, mencapai 300 orang orang per hari.
Rumah tertelak di sudut jalan Vilakazi dan Ngakane. Di samping pintu masuk jelas terlihat tulisan Mandela House terpampang di atas kaca. Di sampingnya, pada tembok, alamat rumah itu cukup besar: 8115 Vilakazi St Orlando West Soweto.
Rumah berbata ekpose warna merah itu kecil saja, hanya memiliki dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Satu ruang tersisa berfungsi ganda jadi Ruang keluarga, ruang tamu, dan ruang makan yang leaknya tak berbatas dengan dapur yang sempit.
Rumah di komplek itu dibangun pemerintah secara seragam dari segi desain dan ukuran pada 1945. Mandela dan istri pertamanya, Evelyn Ntoko Mase, serta putra pertama mereka, pindah ke situ pada 1946. Evelyn saat itu merupakan anggota dewan kota Johannesburg sehingga berhak menempati rumah itu.
Keduanya bercerai pada 1957. Setahun kemudian Mandela menikah dengan Winnie Madikizela, yang menemaninya di rumah itu. Winnie pula yang banyak merasakan pahit getir hidup sebagai istri seorang pejuang pergerakan, meskipun keduanya juga kemudian bercerai pada 1996.
Mandela dikabarkan hanya menghabiskan sedikit waktunya di rumah mungil itu. Aktivitasnya sebagai pejuang antiapartheid mengharuskan dia bergerak di bawah tanah. Pada 1961 ia bahkan terus berada di pelarian dan kemudian ditangkap lalu dipenjara pada 1962.
Winnie Mandela masih tinggal di rumah itu saat Mandela dipenjara hingga ia sendiri diasingkan ke Brandfort pada 1977.
Setelah dibebaskan dari Robben Island pada 1990, Mandela memilih kembali ke rumah itu. Sebuah pawai besar menyabutnya. “Saya pulang ke rumah pada akhirnya,” begitu kata Mandela saat itu.
Dalam biografinya ia juga menulis: “Malam itu saya kembali bersama Winnie ke rumah nomor 8115 di Orlando West. Saat itulah saya tahu dalam hati saya bahwa saya telah meninggalkan penjara. Bagi saya No. 8115 adalah pusat dari dunia saya, tempat itu ditandai dengan sebuah X dalam geografi mental saya.”
Di lantai rumah itu juga terpajang perkataan dalam versi yang bebeda, “Bagi saya, No 8115 adalah pusat dari duniaku. Sebuah istana bagi seorang pria merdeka yang lebih baik daripada penjara."
Untuk memasuki museum itu, pengunjung lokal dikenakan biaya 40 rand (Rp 48 ribu) sedangkan pengunjung asing dikenakan tiket 60 rand (Rp 72 ribu).
Sore itu, karena waktu yang sudah mepet –tempat itu tutup pada pukul 17.00— pengunjung yang masih membludak pun berebutan masuk. Petugas penjaga pintu pun tampak kerepotan, begitu pula guide di dalam museum. Kunjungan saya pun tak benar-benar khidmat.
Saat guide memberi penjelasan, suara berisik datang dari arah luar rumah. Tepuk penari tradisional yang mempertontonkan kebolehnnya sambil bertelanjang dada di luar rumah juga terdengar riuh.
Karena banyaknya pengunjung saat di dalam rumah saya pun tak bisa menikmati bagian demi bagian rumah itu. Saya pun merasa gagal menyerap suasana hati Mandela saat berada di tempat itu.
Tapi jangan-jangan suasan nyaris serupa juga dirasakan Mandela. Buktinya, setelah kembali dari Robben Island, Mandela hanya bertahan 11 hari di rumah itu. Ia merasa tak tenang karena tempat itu terlalu banyak dikunjungi orang. Keamanannya tak terjamin dan keleluasannya betul-betul nyaris sirna karena rumah itu memang sangat sempit. Mandela akhrinya memilih pindah ke rumah lebih besar di Houghton.
Sebenarnya, bila suasananya lebih mendukung, ada banyak hal yang bisa membuat kita terhanyut di sana. Tembok samping pintu masih tampak rusak akibat terjangan peluru dan bom Molotov yang saat itu terus meneror Mandela dan Winnie.
Di sebuah kamar sebuah kasur kecil dan sederhana yang jadi tempat tidur putri pasangan itu masih dipertahakan. Di kamar lain dipajang memorabilia milik Mandela. Ada surat-surat asli tulisan Mandela, piagam penghargaan, semangkuk besar uang hasil sumbangan, dua pasang sepatu boot, sabuk juara dunia petinju Sugar Ray Leonard, serta sebuah majalah Financial Mail dengan foto Mandela dan judul “Kapan Dia Keluar?”.
Juga ada sebatang pohon kecil di pojok halaman rumah. Pemandu tur menjelaskan, di bawah pohon itulah Mandela menguburkan bayinya yang meninggal dalam dalam kandungan.
Ketika pukul 17.00 saya keluar dari rumah itu, masih banyak pengunjung yang datang dan harus kecewa tak bisa masuk. Para penjaja kaki lima dan juga masih bertebaran. Saya sungguh berharap bisa menikmati suasana lebih khusu dan khidmat dibading sore itu.
Nurdin Saleh (Johannesburg)