Pelaksanaan Piala Dunia di Afrika Selatan sempat membuat masyarakat negara itu tercengkeram euforia. Semua ingin terlibat, semua ingin melihat. Para birokrat termasuk yang antusias ikut memeriahkan pertandingan dengan membeli tiket. Sayang, tiket itu dibeli dengan uang negara.
Lima departemen, yakni perdagangan dan industri, pariwisata, sains dan teknologi, komunikasi, serta pelayanan publik dan administrasi, dikabarkan menghabiskan tak kurang dari 11 juta rand (Rp 13,2 miliar) untuk membeli tiket pertandingan. The Star melaporkan, besarnya angka itu sempat menimbulkan pertanyaan di kalangan anggota parlemen karena jumlah tersebut dianggap bisa membiayai 205 sekolah miskin di Provinsi Gauteng.
Biaya 127 juta rand (Rp 152 miliar) yang dihabiskan selama tiga tahun oleh Departemen Seni dan Kebudayaan untuk pembukaan dan penutupan Piala Dunia juga dianggap bisa menghidupi sebuah rumah sakit kecil selama satu tahun.
Kasus serupa terjadi di tubuh Eskom (perusahaan listrik). Di tengah alotnya negosiasi peningkatan gaji dengan serikat pekerja--yang sempat mengancam mogok--muncul berita bahwa lembaga itu menghabiskan 12 juta rand (Rp 14,4 miliar) untuk membeli tiket bagi petinggi perusahaan beserta istri, anak, dan pacarnya.
Tapi berita-berita tersebut segera berlalu bak suara lirih nurani yang lewat dari telinga kanan ke telinga kiri. Harap maklum, ini saatnya Piala Dunia. Perhatian semua orang lebih banyak tercurah pada sepak bola, yang kali ini diwarnai kejutan-kejutan besar, termasuk tersingkirnya Prancis dan Inggris.