Cuma sedikit lebih luas dari Pulau Jawa, dengan jumlah penduduk hanya 3,5 juta jiwa, negeri yang dijepit Argentina, Brasil, dan Samudra Atlantik itu merupakan salah satu negeri dengan tim sepak bola nasional paling sukses di dunia. Berada di peringkat ke-16 dunia versi FIFA, Uruguay--pasti Anda pun tahu--adalah semifinalis Piala Dunia 2010.
Sejak dulu mereka punya daftar sukses yang panjang dan cemerlang. Uruguay dua kali memenangi Piala Dunia dengan mengalahkan dua raksasa di final: Argentina 4-2 (1930) dan Brasil 2-1 (1950). Negeri yang memiliki slogan "Libertad o muerte"--"Merdeka atau Mati"--itu juga dua kali memenangi medali Olimpiade dan menjuarai 14 Copa America.
Kalau ada orang yang membayar saya untuk berburu pemain sepak bola, saya tahu negeri pertama yang akan saya coret: Indonesia. Saya akan memasukkan kembali negeri saya ke daftar dengan syarat: saya boleh memakai sains dan teknologi untuk menyortir pemain, tak ada suap, serta tiada surat yang bisa mengubah keputusan saya. Semua persyaratan itu mutlak dipenuhi karena saya harus mencari 11 pemain plus cadangan dari 238 juta penduduk versi sensus terakhir BPS.
Ini akan seperti mencari jarum di gunung jerami karena, menurut teori "Kolam Susu" (lengkapnya "Kolam Susu dan Pagar Jadi Tanaman", sebuah modifikasi dari teori Alfred Russel Wallace, Darwin, dan Lamarck), pola evolusi pada orang Indonesia tak akan banyak melahirkan orang dengan bakat alam hebat di lapangan hijau. Merumput ala kadarnya tentu saja bisa, seperti halnya Bambang Pamungkas cs, namun tidak untuk menjadi seperti Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Wayne Rooney, Ricardo Kaka, David Villa, Thomas Mueller, Didier Drogba, atau Luis Suarez.
Gara-garanya adalah alam Nusantara yang pada abad kegelapan pun memanjakan orang-orangnya. Pulau-pulau dipisahkan bukan oleh laut, melainkan kolam susu. Ikan dan udang tak perlu dicari, karena akan datang menghampiri. Inginnya membikin pagar, eh, pagar itu tumbuh jadi tanaman.
Dalam alam yang gemah-ripah, manusia yang tak memiliki keunggulan fisik pun memiliki peluang untuk hidup dan berkembang biak hampir sebaik mereka yang memiliki kelebihan fisik. Seleksi alam di Nusantara tak cukup ketat untuk membuat manusia lemah tersingkir dan manusia unggul berkuasa. Walhasil, tak akan mudah mencari manusia yang unggul dalam sepak bola dari populasi Indonesia yang karakter fisiknya sangat heterogen.
Itulah mengapa saya perlu sains dan teknologi sebagai alat sortir. Sains dan teknologi yang menjadi tulang punggung perburuan itu adalah genetika dan ilmu faal (fisiologi) berikut laboratoriumnya yang dilengkapi perlengkapan gemah-ripah. Di sanalah saya akan menyeleksi para calon pemain hingga ke tingkat seluler. Untuk penyerang, misalnya, saya akan mencari pemain yang memiliki profil otot seperti Miroslav Klose. Profil otot seperti itu unggul untuk dipakai berlari cepat tapi lentur untuk meliuk.
Untuk pemain bertahan, saya akan mencari profil sel seperti milik Arne Friedrich atau Philipp Lahm. Mengapa contoh profilnya melulu pemain Jerman?
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Uruguay, Spanyol, atau tim Oranje Alert, jago saya memang Jerman.
Yosep Suprayogi, Wartawan Tempo