Kata-kata Om Waluyo pun terngiang di benak saya. Om Wal bukanlah seorang pemain sepak bola. Tidak pula menyukai bola.Tapi doktor ahli genetika yang sempat sekolah di Korea Utara pada masa kejayaan komunis itu adalah saksi mata kekalahan Indonesia oleh negeri itu pada sekitar 1960-an.
Ia bercerita, suatu kali tim nasional Indonesia diundang merumput ke Pyongyang.Tatkala tim Korea Utara giat berlatih, tim Indonesia justru asyik bercanda.“Orang Indonesia suka cengengesan,” kata Om Wal menggambarkan pemain Indonesia yang tidak serius.
Benar saja, ketika pertandingan dimulai, belum apa-apa gawang Indonesia sudah jebol. Terus berlanjut hingga 7-0. Itu pun, seingat Om Wal, karena seorang pejabat di sana meminta agar pemain-pemain Korea Utara berhenti melesakkan bola ke gawang Indonesia.
“Demi persahabatan dan menghormati Indonesia,” kata dia. Setelah pertandingan, kata si om, seperti yang sudah-sudah, satu sama lain saling menyalahkan. Si A beginilah, si B begitulah.
Lumrah bila Korea Utara berlatih keras. Sebab, di mata tim Korea Utara, Indonesia adalah kesebelasan yang tangguh. Korea Utara juga bukan tim yang remeh-temeh: tampil di Piala Dunia 1966 hingga ke babak perempat final setelah mendepak Italia 1-0.
Saat itu Indonesia sukses menembus semifinal Asian Games Manila 1954, lalu menahan imbang Uni Soviet pada Olimpiade Melbourne 1956 di perempat final--meski akhirnya takluk 0-4 pada partai ulangan hari berikutnya.
Indonesia juga berhasil menduduki posisi elite sepak bola Asia bersama Israel, Burma, dan Iran. Kesebelasan Jepang dan Korea Selatan pernah dicukur rata-rata 4-0. Taiwan malah pernah digilas dengan skor 11-1 di Merdeka Games 1969. Thailand, Malaysia, dan Singapura? Enggak level. Malah ketika itu negeri jazirah Arab belum bisa bermain sepak bola.
Tapi, ya itu tadi, orang-orang Korea Utara, kata Om Wal, serius dan punya tekad baja. Bahkan mereka berkoar-koar tentang mimpinya bahwa kelak saudara mereka di selatan akan menumpang hidup di utara. Mereka ingin mewujudkan sesuatu yang nothing menjadi something. Tak mengherankan bila 44 tahun kemudian tim nasional mereka masuk lagi ke Piala Dunia 2010.
Ironisnya, Korea Utara masuk justru tatkala kondisi negerinya sedang dalam keterpurukan ekonomi yang luar biasa. Kemiskinan dan kelaparan. Itu sebabnya, barangkali, Korea Utara bangga meskipun masuk ke grup panas bersama Brasil dan Portugal.
Kisah tim dengan pemain yang minim pengalaman internasional namun tak kenal menyerah, seperti yang ditunjukkan skuad Korea Utara, juga terjadi pada Selandia Baru. Sepak bola sama sekali bukan olahraga favorit di negeri mungil yang terletak di ujung belahan selatan dunia itu. Rugbi jauh lebih populer. Tim rugbi Selandia Baru, All Blacks—karena pakaiannya serba hitam—lebih terkenal ketimbang All Whites, tim sepak bola nasionalnya.
Debut Selandia Baru di Piala Dunia 1982 pupus setelah gagal meraih poin di babak grup. Selandia Baru kalah oleh Skotlandia, Uni Soviet, dan Brasil.
Cuma setelah itu tim Kiwi bangkit.
“Orang-orang Kiwi saling mendukung satu sama lain,” ujar Rudy, seorang kawan saya, warga Indonesia, yang kini menetap dan bekerja di sana.
Don, kawan saya yang warga Selandia Baru, berkisah bahwa letak negerinya yang berada di ujung tepi peta dunia itu membuat orang-orang Selandia Baru bertekad bisa tampil mengukir sejarah di pentas dunia. “From nothing came something,”ujarnya.
Lihatlah negeri dengan jumlah domba lebih banyak daripada manusia itu mampu berprestasi lebih baik ketimbang Italia di Piala Dunia 2010. Jadi, negeri boleh kecil tapi tekad tak boleh kerdil. Seperti bola, hidup berputar: dari nothing bisa menjadi something dan sebaliknya, dari something menjadi nothing. ●
ANDREE PRIYANTO (WARTAWAN TEMPO)