Legenda kapal hantu The Flying Dutchman sudah sangat kondang. Ada banyak versinya, tapi para pelaut banyak yang percaya bahwa penampakan kapal ini sebagai pertanda buruk bagi mereka.
Legenda ini berkaitan dengan kapal yang dinakhodai Hendrik van der Decken, asal Belanda, sejak 1641. Suatu kali ia berlayar ke Cape of Good Hope dan bersua dengan topan dahsyat. Anak buahnya meminta dia kembali, tapi sang kapten tetap berkeras dan bersumpah bahkan perintah Tuhan pun tak akan membuatnya berpaling dari usaha mengelilingi tanjung itu meski sampai kiamat. Sumpah serapahnya itu kemudian jadi kenyataan, kapalnya hancur dan menjelma jadi kapal hantu.
Versi lain menyebutkan kapal itu ditolak masuk ke Tanjung Harapan karena anak kapalnya terserang wabah berbahaya. Kapal itu pun kemudian terlunta-lunta di laut lepas hingga semua awaknya mati pe nasaran dan menjelma jadi kapal hantu.
Mungkin Anda menganggap cerita itu absurd dan tak masuk akal. Tapi banyak pelaut yang mempercayainya. Pada 1880, Pangeran George dari Wales (kemudian dikenal sebagai Raja George V dari United Kingdom) saat masih muda sempat berlayar dengan kapal Bacchante ke tanjung itu dan menyaksikan penampakan tersebut pada pukul 4 pagi. Sang tutor, Dalton, melaporkan penampakan itu dalam jurnalnya.
Kebenaran legenda ini masih terus jadi perdebatan hingga kini. Tapi, di ujung Tanjung Harapan itu, Cape Point, saya menemukan The Flying Dutchman sudah menjelma jadi bentuk lain. Itu sebuah kereta kabel yang bisa membawa pengunjung ke puncak bukit. Kereta kabel itu mulai difungsikan sejak 1996 menggantikan bus diesel.
Cape of Good Hope dan Cape Point merupakan salah satu tujuan wisata cukup kondang di Cape Town. Terletak sekitar 1 jam berkendara dari pusat kota, tempat ini diminati karena adanya promosi keliru dari mulut ke mulut. Tempat ini dikatakan sebagai ujung selatan Benua Afrika sekaligus jadi tempat yang menjanjikan banyak fenomena menarik karena adanya arus panas dan dingin. Selama Piala Dunia digelar, ribuan orang pun menyerbu tempat ini untuk melampiaskan rasa penasaran.
Tanjung Harapan berada di sebuah suaka alam yang merupakan bagian dari suaka alam Table Mountain, bukit batu yang berbaris sejak dari pusat kota Cape Town.
Untuk masuk ke tempat itu, pengunjung harus membayar 70 rand (Rp 72 ribu). Dari pintu masuk hingga tempat kereta The Flying Dutchman jaraknya cukup jauh, mencapai 7 menit perjalanan dengan mobil. Dalam perjalanan, kita bisa melihat hamparan tanah datar di sela-sela gunung batu yang ditumbuhi perdu-perdu kecil. Di mana-mana terlihat peringatan agar pengunjung berhati-hati dengan babun.
Binatang yang jadi kerabat monyet itu disebutkan banyak terdapat di sana, meskipun saya gagal menemukannya. Di tempat itu juga ada burung unta liar, antelope, zebra, dan berbagai jenis burung.
Pengunjung juga kadang-kadang bisa melihat paus dari puncak bukit di Cape Point.
Untuk naik ke bukit setinggi 300 meter itulah The Flying Dutchman digunakan. Kereta itu menempuh jalur sekitar 585 meter dengan kemiringan sekitar 60 derajat. Tiap pengunjung dikenai bayaran 43 rand (Rp 51 ribu). Sekali berangkat, kereta itu bisa mengangkut 12 orang. Saat berjalan, kereta itu juga bisa berputar 360 derajat. Selain bisa menggunakan kereta ini, pengunjung bisa berjalan kaki ke puncak selama sekitar 40 menit.
Di puncak bukit itu, setelah menjajal kereta, saya pun langsung disuguhi pemandangan menawan. Di satu sisi samudra terbentang, di sisi lain rangkaian gunung batu berbaris sampai jauh.
Di puncak bukit itu juga ada mercusuar yang masih berfungsi dan memiliki lampu terkuat dibanding benda sejenis di Afrika Selatan. Lampunya bisa menjangkau jarak 63 kilometer. Di sana juga ada rambu penunjuk arah menuju kotakota besar di beberapa negara tetangga Afrika Selatan lengkap dengan jaraknya. Ke Paris, misalnya, jaraknya 9.294 km, ke Berlin 9.575 km, dan ke Yerusalem 7.468 km. Tapi tak ada rambu penunjuk jarak ke Jakarta.
Simon Dune, pengunjung asal Amerika Serikat, mengaku datang ke tempat itu karena promosi tentang letaknya yang di ujung Afrika Selatan."Lagi pula tempat ini menjadi unsur penting dalam sejarah pelayaran dunia. Saya ingin menyaksikannya dengan mata kepala sendiri," kata pria bercambang lebat itu.
Ia benar. Tanjung Harapan memang berkaitan erat dengan sejarah pelayaran dunia. Pada 1488, penjelajah dari Portugal, Bartolomeu Dias, tiba di tempat ini dan disambut badai besar, sehingga menamainya dengan Cape of Storms. Belakangan rekan senegaranya yang tak kalah kondang,Vasco da Gama, berhasil sampai di sini.Tempat ini pun dianggap sangat vital dalam pelayaran dunia saat itu karena menjadi jalan untuk menembus India. Karena itu, tempat ini kemudian diubah namanya jadi Cape of Good Hope.
Semula tempat ini dianggap sebagai ujung selatan Benua Afrika. Karena itu, banyak pula orang yang menyebutnya sebagai ujung dunia. Pemerintah setempat tampaknya masih berusaha melestarikan anggapan itu. Dalam satu papan di tepi pantai disebutkan bahwa tanjung itu disebutkan sebagai "bagian paling barat daya Benua Afrika". Di depan plang penanda itulah pengunjung antre untuk berfoto.
Pemindaian oleh satelit telah membuktikan bahwa klaim itu keliru. Ujung selatan Benua Afrika adalah Cape Agulhas, yang berjarak 150 kilometer dari Cape Point. Ada klaim bahwa di Cape Point terjadi pertemuan antara arus dingin dari Samudra Atlantik dan arus panas Samudra Hindia.
Menurut Wikipedia, pertemuan itu tak terjadi di sana, melainkan di antara Cape Point dan Cape Agulhas. Tak ada garis kasatmata yang menandai pertemuan itu. Yang ada hanyalah ombak yang lebih ganas dan susah ditebak. Karena itu, di sana kerap terjadi kapal karam.
NURDIN SALEH (CAPE TOWN)