TEMPO Interaktif, Gol Andres Iniesta disambut gemuruh. Gol yang membuat Spanyol mencetak sejarah baru dalam Piala Dunia. Pertama kali tampil di final dan langsung jadi juara. "Luar biasa, Spanyol!" teriak saya keras-keras.
Pasti tak ada yang mendengarkan teriakan saya. Saya tidak berada di Stadion Soccer City, Johannesburg, Afrika Selatan. Saya juga tak berada di Cikeas--kediaman Presiden, salah satu dari ribuan tempat nonton bareng.
Seandainya saya di Stadion Soccer City, saya akan menemui pengurus PSSI yang ada di antara ribuan penonton. Pertama tentu saya mengucapkan selamat karena mereka menjadi saksi kemenangan tim favorit saya. Yang kedua, saya ingin membisiki mereka, sepulang dari Afrika--kalau perlu, ketika pesawat masih di atas Samudra Hindia--agar menyatakan dengan tulus sejak saat itu mengundurkan diri sebagai pengurus PSSI.
Seandainya saya di Cikeas, saya akan menemui Presiden untuk membisikkan sesuatu: bubarkan PSSI sekarang juga dan larang pertandingan Liga Indonesia untuk waktu tertentu, minimal empat tahun.
Bisikan yang serius untuk kemajuan sepak bola Indonesia di masa depan. Kejayaan sepak bola Indonesia harus dibangun dengan cara yang keras, yakni melarang pertandingan sepak bola itu sendiri. Kita harus membuat terobosan baru dengan cara mengkiamatkan sepak bola, baik pertandingannya maupun kepengurusannya.
Larangan ini berlaku ke bawah, yakni kompetisi antarklub atau perserikatan. Ini kompetisi yang sudah tak sehat, wasit bisa disogok untuk mengatur skor, misalnya. Ibarat komputer, virusnya sudah kelewat banyak. Untuk memperbaikinya, tak bisa dihapus satu per satu, harus diinstal ulang. Tetapi sekolah sepak bola tetap bergiat. Bahkan melakukan pembinaan secara serius. Usia anak-anak itu paling 12 tahun atau lewat sedikit. Jika perlu, sekolah sepak bola ini dibangun di setiap kota dan kompetisi antarmereka diharuskan. Jadi yang ada nanti hanya kompetisi U-12 dan U-18, maaf, tanpa perlu melibatkan PSSI.
Bagi pemerintah, masa jeda ini dipakai untuk membangun stadion dan lapangan bola yang memadai. Kementerian Pemuda dan Olahraga memanfaatkan waktu untuk memasukkan sepak bola dalam kurikulum pendidikan. Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI) perlu dihidupkan dengan sepak bola sebagai olahraga wajib--sebagaimana di masa lalu.
Masa "kiamat" ini bisa membuat generasi "bonek" terputus. Kevakuman yang panjang mudah-mudahan membuat mereka mencari pekerjaan lain, tidak merecoki urusan sepak bola.
Empat tahun absen--atau delapan tahun jika perlu--akan membuat orang-orang "gila bola" tergugah bangkit karena sihir Piala Dunia akan mengusiknya. Inilah awal kebangkitan itu, dari "titik nol". Selama masa jeda, tentu orang sepak bola berpikir, betapa olahraga ini bisa dibisniskan secara penuh. Tidak seperti selama ini, klub dan perserikatan mengandalkan dana APBD--uang rakyat--sehingga pertanggungjawaban moralnya nol. Penonton yang membayar karcis akan jadi tulang punggung bisnis sepak bola. Afrika Selatan menghabiskan Rp 10 triliun untuk membangun empat stadion baru dan renovasi enam stadion lama, tapi sudah mendapatkan Rp 40 triliun sampai babak semifinal Piala Dunia. Di sini stadion malah dirusak "bonek".
Jika kita "membunuh" sepak bola Indonesia untuk waktu tertentu, pada saatnya akan mendapatkan orang yang bisa mengurus PSSI tanpa memanfaatkan organisasi itu untuk kepentingan pribadi. Akan muncul klub yang dikelola oleh mereka yang tahu sepak bola dan tahu bagaimana mencari uang dari sepak bola. Materi pemainnya adalah anak-anak yang kini ada di sekolah bola--karena itu, sekolah ini tak ikut "kiamat".
Jadi, mati suri mulai saat ini, muncul kembali pada 2018 dengan wajah baru yang segar. Empat tahun kemudian, 2022, Merah Putih berkibar di Piala Dunia. Harus ada target, tapi harus berani melakukan "amputasi". Perbaikan tambal sulam seperti saat ini tak akan membawa hasil. Ibarat main sepak bola, hanya berputar-putar di lapangan tengah, tak pernah ada gol.
Putu Setia