TEMPO Interaktif, Piala Dunia Afrika sudah berakhir, dan berakhir pula prediksi pengamat, acara begadang, dan nonton bareng. Spanyol adalah tim terbaik di bumi ini. Gelar juara dunia kini berada di tangan tim yang memiliki pemain-pemain terbaik karena Spanyol pulalah yang selama di Afrika tampil menyerang, sabar, menghibur, dan kolektif.
Spanyol sempat digebuk Swiss 0-1 di partai pembuka Grup H. Tapi tetap saja, sepanjang bola bergulir di lapangan, pemain-pemain Matadorlah yang menguasainya. Semua mitos yang pernah ada tentang tim juara selama ini dipecahkan begitu saja oleh pasukan Vicente Del Bosque: kesebelasan Eropa yang belum pernah juara di luar Benua Eropa. Spanyol adalah juara baru yang pernah kalah di partai pembuka dan tim bukan tuan rumah pertama yang mampu melibas Belanda di final.
Selamat buat Spanyol. Selamat buat Iniesta, Casillas, Vicente Del Bosque. Dan selamat pula buat tim Oranye, yang berusaha dengan sekuat tenaga menghalangi aliran bola Matador meski dengan sedikit upaya keras dan kasar.
Jangan lupa pula memberikan pujian kepada Diego Forlan, yang keluar sebagai pemain terbaik Piala Dunia Afrika; Thomas Muller, yang meraih dua gelar sekaligus (young player dan top scorer setelah mengemas 5 gol dan 3 assist); Iker Cassilas sebagai kiper terbaik; serta Andreas Iniesta sang penentu dan man of the match.
Tapi apresiasi terbesar harus kita berikan kepada Afrika Selatan, yang sama sekali tidak gentar menghadapi tantangan sebagai tuan rumah pesta akbar sepak bola dunia. Afrika Selatan sungguh luar biasa. Sebelum Piala Dunia bergulir, kami sering mendengar kabar tentang kriminalitas yang tinggi, stadion yang belum selesai pembangunannya, kemiskinan, dan apartheid.
Sepanjang Piala Dunia bergulir, saya harus katakan Afrika telah menggelar pesta yang sangat meriah, penuh kebahagiaan dari kaum hitam, kuning, maupun putih, suporter yang saling bergaul dalam memberikan dukungan kepada masing-masing negara, pimpinan negara berbaur dengan penonton di tribun VIP sambil berteriak, kemewahan stadion serta fasilitas buat penonton dan masyarakat Afrika sendiri.
Piala Dunia 2014 akan digelar di Brasil, tanah airku, yang sementara ini mengalami hal yang persis sama dengan Afrika sebelum menjadi tuan rumah.
Tingkat kriminalitas yang tinggi, stadion yang masih dalam tahap pembangunan dan renovasi, kepentingan politik, keraguan terhadap kualitas Selecao, serta kemacetan.
Tapi Brasil punya beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh negara lain: sepak bola buat kami adalah napas dan jiwa kami. Brasil punya Pantai Copacabana, The Girl From Ipanema, Hutan Amazon, Pele, Garrincha, Romario, Ronaldo, patung Jesus di atas gunung, The Sugar Loaf, Carnaval, dan lima bintang di dada pemain Selecao Canarinho sebagai bukti supremasi sepak bola dunia.
Semua yang datang ke Brasil nanti akan melihat begitu bangga dan bahagianya orang-orang Brasil jika sudah bicara tentang sepak bola. Jika dikaitkan dengan sesuatu yang berhubungan dengan pesta, kami akan menjadi tuan rumah yang baik dan ramah.
Di Afrika, suara Vuvuzela menjadi primadona Piala Dunia 2010, dan di Brasil nanti, irama Samba akan terdengar di seluruh pelosok stadion sepanjang pertandingan. Tidak ada satu pun orang yang bisa diam saat mendengar suara pandeiro, cuica, tamborin, dan surdao (alat musik khas Brasil buat Samba). Itu semua akan dilengkapi dengan wanita-wanita cantik Brasil yang menemani Anda sambil bergoyang pinggul dan senyum dengan penuh bangga dan ramah.
Hingga 2014, CBF (Induk Organisasi Sepak Bola Brasil) dan Presiden Lula punya tugas berat dalam membangun infrastruktur yang memadai dan tim nasional yang bermain dengan ciri khas Brasil. Jangan sampai apa yang terjadi pada Selecao di Afrika 2010 terulang di rumah kami sendiri. Pencinta sepak bola Brasil rindu akan Jogo Bonito. Sungguh sangat tidak lucu jika di Stadion Maracana nanti irama Samba dimainkan oleh penonton, tapi di lapangan pemain berirama dangdut atau Tango. Sampai jumpa di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, Brasil 2014.
Jacksen F. Tiago, Pelatih Persipura Jayapura