TEMPO.CO, Jakarta - Akhirnya saya menemukan makanan yang benar-benar cocok di mulut dan juga perut. Pada pagi hari, teman Brasil saya menyajikan singkong goreng yang asap panasnya masih mengepul di atas sebuah piring.
Saya yang baru terbangun sontak kaget. Saya mengucek-ngucek mata: apa benar ini di Brasil atau saya tengah berada di Jakarta? Melihat teman Brasil saya sibuk menggoreng singkong berikutnya, sepenuhnya saya sadar ini memang di Rio de Janeiro. Tapi, singkong goreng?
Singkong goreng yang disajikan tak berbeda dengan yang biasa saya gasak di Jakarta. Mereka lebih dulu merebusnya, kemudian menggorengnya. Persis seperti yang dilakukan abang-abang penjual gorengan yang minyaknya terlihat kental kehitaman.
Rasanya, seperti teks yang di-copy-paste, sama sekali tak ada yang beda. Gurih dan nyam-nyam. Paling enak dimakan dengan ditemani secangkir kopi panas plus teman mengobrol.
Namun, di sini, sepertinya singkong goreng ini tidak termasuk dalam daftar kudapan santai atau sekadar pengganjal perut, melainkan menjadi salah satu yang masuk dalam menu makanan. Di restoran self service, singkong goreng tersaji bersama lasagna atau daging panggang.
Rata-rata orang Brasil menyukai singkong. Mereka menyebutnya aipim. Harganya pun murah. Di sebuah pasar, saya sempat melihat singkong sebesar lengan orang dewasa dijual dengan harga 2 real atau sekitar Rp 10 ribu. Termasuk murah dibanding bahan makanan lainnya.
Sebenarnya kalau saya terbengong-bengong melihat sajian singkong goreng di sini, sepenuhnya sayalah yang keliru. Sebab, justru singkong merupakan tanaman asli di Amerika Selatan, termasuk Brasil.
Dulu kala, sekitar abad ke-16, orang-orang Portugis membawa tanaman ini ke Asia, tak terkecuali ke Indonesia. Karena iklim yang tak berbeda, tanaman ini cocok tumbuh dan menjadi bagian dari flora di Nusantara.
Belakangan, tanaman yang kaya karbohidrat ini sepertinya mengalami penurunan status. Pada era 1980-an, misalnya, singkong identik dengan kampung. Istilah "anak singkong", yang populer di era meledaknya kelompok lawak Sersan Prambors, mengacu pada anak-anak kampung.
Lalu ada juga lagu yang mempertentangkan status sosial di antara dua orang yang tengah berpacaran, yakni Singkong dan Keju. Lagu yang dibawakan Bill & Brod ini sempat terkenal sampai ramai dinyanyikan baik anak-anak maupun orang dewasa.
Singkong memang murah meriah. Tapi makanan murah ini pernah atau bahkan mungkin masih disantap pula oleh bintang-bintang sepak bola Brasil, termasuk Neymar, yang superjago dan digaji dengan harga selangit dan kini berlaga di Piala Dunia. Juga pemain lawas Brasil, seperti Pele, Zico, Ronaldo, atau Kaka.
Mereka menjadi hebat salah satunya karena makan singkong. Tak beda dengan pemain sepak bola di negeri sendiri.
IRFAN BUDIMAN (RIO DE JANEIRO)