TEMPO.CO, Jakarta - Jelang awal Ramadan, suhu Sao Paulo, Brasil, berada pada kisaran 29-25 derajat Celsius. Dengan kelembapan sampai 75 persen, cuaca terasa cukup nyaman bagi orang-orang yang tinggal di kawasan tropis.
Namun, untuk para pemain bola yang berasal dari Eropa, mungkin suhu ini sama dengan musim panas di negaranya. Babak 16 besar baru dimulai dan menyisakan sejumlah negara yang memiliki pemain muslim, seperti Jerman, Prancis, Swiss, Pantai Gading, Nigeria, dan Aljazair. "Bisa dibilang puasa bagi atlet sepak bola tidak berefek besar," kata Ron Maughan, Profesor Nutrisi untuk Olahragawan dari Universitas Lougborough, Inggris, kepada Nytimes.
Di Jerman ada Mesut Oezil yang berposisi sebagai gelandang. Tetangganya, Swiss, memiliki penyerang Xherdan Shaqiri dan gelandang Marouane Fellaini yang juga beragama Islam. Adapun dalam tim nasional Prancis, ada penyerang Karim Mostafa Benzema, gelandang Paul Pogba, pemain bertahan Mamadou Sakho, gelandang Moussa Sissoko, dan pemain bertahan Bacary Sagna. Tim nasional Pantai Gading diperkuat dua saudara muslim, Yaya dan Kolo Toure. Terakhir ada Ahmad Musa dari Nigeria.
Keputusan mereka berpuasa di kota-kota Brasil akan dilalui selama kurang-lebih 13 jam dengan waktu mirip Indonesia. Dimulai dari subuh terpagi di Kota Recife pada pukul 04.18 dan berakhir magrib terlama di Kota Balem pada pukul 18.19. Dengan waktu dan cuaca tersebut, Oezil memutuskan untuk tidak berpuasa.
"Ramadan mulai Sabtu ini, tapi aku tidak ikut karena aku bekerja," ujarnya dalam konferensi pers Rabu lalu, seperti yang ditulis Jerusalem Post. Sama dengan Oezil, Yaya Toure pun tak berpuasa. "Puasa? Tidakkah kalian lihat cuacanya? Aku bisa mati," katanya kepada The National. Namun Kolo Toure justru mengatakan puasa membuatnya kuat. "Aku rasa ini menakjubkan, bagaimana Ramadan dapat membuat Anda sangat kuat," ujarnya dalam Huffington Post.
Berpuasa atau tidak bagi atlet bukanlah hal baru untuk para atlet profesional muslim. Sebab, biasanya para atlet yang sudah terbiasa puasa dari kecil tak memiliki masalah untuk berpuasa lagi ketika bertanding atau latihan. "Apalagi puasa bagi atlet di negara mayoritas muslim lebih mudah karena dukungan sosial dan budaya," demikian tertulis dalam Aspetar, jurnal kesehatan olahraga dan tulang Qatar.
Masalah mungkin bisa timbul, menurut The National, bagi yang bermain di negara minoritas muslim atau dari lingkungan sekitarnya. Misalnya, pada 2010, pemain Iran Ali Karimi dipecat dari klub karena memutuskan buka puasa sebelum waktunya. Lalu, setahun sebelumnya di Jerman, sebuah klub divisi dua memberi peringatan kepada tiga pemain muslim karena puasa tanpa pemberitahuan ke klub.
Beberapa dewan muslim memang memberi izin bagi para pemain ini untuk tidak berpuasa. Seperti yang ditulis FIFA.com bahwa Dewan Pusat Muslim di Jerman dan Asosiasi Pemain Sepak Bola Muslim memberi izin makan selama Ramadan. Kebijakan tersebut mengadopsi keputusan antara Dewan Fatwa Eropa dan Ulama dari Masjid Al-Azhar, Kairo, Mesir. Di Serbia, seorang mufti mengizinkan gelandang Ghana, Mohammad Awal Issah, yang bermain untuk klub Red Star agar makan dan minum selama bertanding.
Isu kesehatan yang selalu digelontorkan adalah dehidrasi yang berdampak pada performa di lapangan dan menjaga kadar energi. "Massa otot juga menjadi sebuah isu. Penelitian menemukan, pada periode awal Ramadan, tubuh kemungkinan kehilangan massa otot," ujar ahli gizi dari Institut Olahraga Inggris kepada Reuters.
Namun masalah tersebut, menurut Kepala Petugas Medis FIFA Jiri Dvorak, tak perlu dikhawatirkan. "Kami telah melakukan kajian panjang bagi para pemain selama Ramadan, dan keputusannya. Jika Ramadan dijalani dengan benar, tidak akan ada penurunan dalam kondisi fisik pemain," ujarnya dalam Jerusalem Post.
THE NATIONAL | JERUSALEM POST | FIFA | HUFFINGTON POST | NY TIMES
Berita peting lain:
Untuk Memoles Citra, Prabowo Gunakan Konsultan AS
Ini Cara Twitter Sambut Ramadan
Lihat Fisik, Prabowo Sebut Gus Dur Bikin Malu