TEMPO.CO, Rio de Jainero - Seorang teman yang berjanji akan mengantar ke favela tiba-tiba tak bisa dihubungi. Padahal 30 menit sebelum sampai di bagian mulut Rocinha kami masih bisa berhalo-halo dengan ponsel. Pas sampai di Pasar Rocinha yang menjadi gerbang masuk ke favela terbesar di dunia itu, tiba-tiba telepon selulernya tak bisa dihubungi.
Teman Brasil saya jadi kecewa. Raut wajahnya masam. Berkali-kali dia pencet telepon selulernya, tapi sama saja. Tidak ada jawaban dari seberang sana. Nada heran pun keluar dari mulutnya. "Kenapa jadi mati?" tanyanya kepada diri sendiri.
Akhirnya kami putuskan untuk balik badan. Masuk ke favela tanpa ada orang yang tinggal di sana hanya bikin masalah. Paling tidak, masalah pertama adalah kaki yang terasa pegal-pegal. Lalu napas juga dipastikan tersengal-sengal. Maklum, jalan ke perkampungan di gunung itu menanjak dan curam.
Sampai malam, nomor itu masih terus dihubungi. Namun sama saja. Mati. Barulah keesokan harinya nada panggil terdengar. "Maaf, kemarin seharian saya berada di terowongan. Ada pekerjaan di sana," katanya, seperti yang diceritakan teman Brasil saya. Dia memang bekerja di kantor pemerintahan yang mengurusi pekerjaan umum.
Semula saya sempat sangsi akan kabar hilangnya sinyal itu. Namun, suatu ketika, saat menumpang taksi, siaran dari radio yang tengah didengarkan sang sopir mendadak hilang ketika melintasi terowongan panjang. Saya juga cek telepon seluler saya. Eh, benar. Hilang semua tanda sinyalnya.
Terowongan di Rio de Janeiro, dan kota-kota lainnya di Brasil, memang jumlahnya teramat banyak. Dengan menghitung sekadarnya, selama berada di sini paling tidak saya melewati lima terowongan yang berbeda.
Di wilayah Rio sendiri, paling tidak ada 20 terowongan. Yang paling baru pembangunannya adalah Grota Funda TransOeste, yang dibuat pada 2012. Sisanya ada yang dibuat satu abad silam.
Umur dan jaraknya pun terbilang panjang. Terowongan Santa Barbara, yang membuat teman si Brasil kehilangan sinyal telepon, punya panjang hingga 1,3 kilometer. Terowongan ini dibuat pada 1963.
Jalan menembus gunung di sini merupakan salah satu solusi dalam hal transportasi kota. Maklum, kota ini semarak dengan gunung-gunung batu. Membuat jalan melingkar mengitari gunung-gunung tersebut tentu malah membuat jarak perjalanan semakin panjang. Tidak efektif untuk transportasi dalam kota.
Sebenarnya berada di terowongan ini tak ada bedanya dengan saat melintasi terowongan di Jakarta. Hanya, di sini jalurnya lebih panjang dan tertib. Selain itu, satu lagi, setiap kali turun hujan lebat, dipastikan arus lalu lintas tetap lancar. Tak ada rombongan pengendara sepeda motor yang berteduh di sana guna menghindari siraman air hujan.
IRFAN BUDIMAN (RIO DE JAINERO)